ORIENTALIS DAN SEJARAH INDONESIA
Oktober 12, 2012
Sejarah
membuktikan, penjajah Belanda datang ke Indonesia bukan hanya mengeksploitasi
kekayaan alam. Tapi, mereka juga berharap bisa menghilangkan pengaruh Islam
terhadap bangsa Indonesia. Bersama para orientalisnya, kaum kolonial Belanda
berusaha memperkecil arti dan peran Islam dalam sejarah Melayu-Indonesia. Dalam
bukunya Nederland en de Islam(hlm. 1), tokoh orientalis Belanda,
Christian Snouck Hurgronje mengatakan bahwa Islam baru masuk ke kepulauan Indonesia
pada abad XIII setelah mencapai evolusinya yang lengkap. Snouck Hurgronje juga
menyatakan dalam bukunya, Arabie en Oost Indie (hlm. 22),
bahwa orang Islam di Indonesia sebenarnya hanya tampaknya saja memeluk Islam
dan hanya di permukaan kehidupan mereka ditutupi agama ini. Ibarat
berselimutkan kain dengan lubang-lubang besar, tampak keaslian sebenarnya, yang
bukan Islam. Orientalis lain, J.C. Van Leur, bahkan menyimpulkan bahwa Islam
tidak membawa perubahan mendasar sedikit pun di kepulauan Melayu-Indonesia dan
tidak juga perabadan yang lebih luhur daripada peradaban yang sudah ada.
Benarkah
Islam hanya merupakan penampilan luar dan tidak membawa perubahan mendasar bagi
masyarakat Melayu-Indonesia? Snouck Hurgronje datang ke Indonesia pada 1889 di saat
umat Islam Indonesia memasuki masa transisi. Akhir abad XIX mulai terjadi
kebangkitan agama di kalangan umat Islam. Ketakutan Pemerintah Hindia Belanda
terhadap kebangkitan Islam melatarbelakangi pengangkatan Snouck Hurgronje
sebagai penasihat pemerintah untuk urusan pribumi dan Islam. Proses Islamisasi
di kepulauan Melayu-Indonesia, menurut pakar sejarah Melayu, Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, mengalami kemunduruan sejak datangnya kolonialisme Barat.
Sebagaimana orientalis lainnya, Snouck Hurgronje menilai umat Islam dari
praktek-praktek mereka pada saat kemunduran itu, sehingga memberikan pemahaman
keliru tentang Islam.
Di mana Islam?
Penggambaran
kurang tepat tentang peradaban Islam dalam sejarah Indonesia juga bisa dijumpai
pada sejumlah penulis Kristen, seperti T.B. Simatupang dan Eka Darmaputera.
Dalam bukunya, Iman Kristen dan Pancasila (hlm. 11), ia
menjelaskan, bahwa Indonesia tidak pernah mengalami sebuah kerajaan Islam yang
mencakup seluruh Indonesia, seperti di zaman Mogul di India. Menurutnya,
Kerajaan Sriwijaya yang Budha dan Majapahit yang Hindu, pernah mempersatukan
sebagian besar wilayah Nusantara. “Tetapi, tidak pernah ada jaman Islam dalam
arti kerajaan yang mencakup seluruh negeri,” tulis TB Simatupang. Begitulah,
lanjutnya, dalam arti tertentu, yang menggantikan Majapahit adalah pemerintahan
kolonial Belanda dan yang menggantikan yang terakhir tersebut adalah
pemerintahan Republik Indonesia.
Tokoh
Kristen lain, Eka Darmaputera, dalam bukunya, Pancasila: Identitas dan
Modernitas(1997:41), juga membuat paparan yang kurang tepat tentang sejarah
peradaban Islam di Indonesia. Ia mengakui, dibandingkan dengan kebudayaan asli
dan Hindu, Islam jauh lebih berhasil menanamkan pengaruhnya pada seluruh
lapisan masyarakat. Ia berhasil mencapai rakyat biasa dan menjadi agama dari
mayoritas penduduk Indonesia. Namun demikian, ia tidak menciptakan suatu
peradaban baru. Sebaliknya, dalam arti tertentu, ia harus menyesuaikan diri
dengan peradaban yang telah ada, tulis Eka Darmaputera. Bahkan, untuk mendukung
asumsinya tersebut, Eka menunjuk contoh Sunan Kalijaga, yang meskipun sempat
memeluk agama Islam, tetapi tetap menjadi Jawa, dan tidak menjadi Hindu atau
Islam. Eka menulis, “Ia adalah seorang Hindu, bangsawan Majapahit, tetapi toh
bukan itu, sebab Majapahit adalah masa lampaunya. Ia adalah seorang Islam,
menjadi Islam di pusat peradaban Islam yang tengah menyingsing pada waktu itu,
Demak. Tetapi toh tidak seluruhnya, sebab akhirnya Demak pun ia tinggalkan,
bahkan ia memainkan peranan yang penting dalam kekalahannya. Ia pada akhirnya
adalah seorang Jawa, yang merangkul semua, tanpa pernah sepenuhnya menjadi
salah satu. Di Mataram lah –sebuah Kerajaan Jawa, yang tidak sepenuhnya Hindu
maupun Islam— ia memainkan peranannya yang terpenting di dalam mengislamkan
Jawa.” (hlm. 34).
Tentu
saja, cerita Eka Darmaputera tentang Sunan Kalijaga tersebut sulit dilacak
kebenarannya. K.H. Saifuddin Zuhri, tokoh NU, dalam salah satu tulisannya
tentang Wali Songo memberikan gambaran tentang Sunan Kalijaga yang jauh berbeda
dengan gambaran Eka Darmaputera. Sunan Kalijaga adalah seorang yang sangat
aktif berdakwah, yang seluruh hidupnya di abdikan hanya untuk menyiarkan Islam.
(Lihat, KH Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan Islam
di Indonesia, 1981:310-329). Sebuah kisah populer di Jawa –yang banyak
dirujuk oleh para sejarawan dalam melihat sejarah Islam, Majapahit, dan para
wali adalah Serat Darmagandul.
Buku Darmagandul ini
penuh dengan caci maki terhadap Islam dan Wali Songo. Di sisi lain,
pengarang Darmagandul (yang tetap misterius sampai sekarang)
sejak awal memiliki itikad untuk menampilkan agama Kristen (Nasrani) lebih
memiliki keunggulan dibandingkan Islam. Buku ini juga secara sistematis
menanamkan kebencian orang Jawa terhadap Islam. Misalnya ditulis:“Wong Djawa
ganti agama, akeh tinggal agama Islam bendjing, aganti agama kawruh, ….(Artinya:
Orang Jawa ganti agama, besok banyak yang meninggalkan Islam, berganti
(menganut) agama kawruh …). (Lihat, Anonim. Darmagandul. Cetakan
IV. (Kediri: Penerbit Tan Khoen Swie, 1955). Juga, ungkapan Darmagandul, “Kitab
Arab djaman wektu niki, sampun mboten kanggo, resah sija adil lan kukume,
ingkang kangge mutusi prakawis, kitabe Djeng Nabi, Isa Rahullahu.” (Artinya:
Kitab Arab jaman waktu ini, sudah tidak terpakai, hukumnya meresahkan dan tidak
adil, yang digunakan untuk memutusi perkara adalah kitab Kanjeng Nabi Isa
Rahullah). Cerita-cerita dalam Darmagandul yang menyudutkan
Islam dan mengadu domba antara Islam dengan Jawa ini memiliki banyak kesamaan
cerita dengan Babad Kadhiri yang diakui penulisnya ditulis
atas permintaan pemerintah kolonial Belanda.
Penulisan
sejarah sangat tergantung pada perspektif penulisnya. Simaklah sejarah Kerajaan
Majapahit. Sekali-kali perlu dipertanyakan, benarkah sejarah telah membuktikan
bahwa Majapahit pernah menguasai seluruh wilayah Nusantara? Prof. Dr. C.C. Berg
melalui tulisan-tulisannya telah mengungkapkan, bahwa wilayah Majapahit hanya
meliputi wilayah Jawa Timur, Bali, dan Madura. Masuknya wilayah-wilayah lain di
Nusantara, hanya merupakan cita-cita, dan tidak pernah masuk ke dalam wilayah
Majapahit. (Lihat, Hasan Djafar, Masa Akhir Majapahit, 2009:
47-48). Ada juga cerita yang memposisikan Majapahit sebagai “penjajah”,
sehingga muncul perlawanan dari wilayah yang ditaklukkan. Babad
Soengenep, misalnya, menceritakan bagaimana proses penaklukan Majapahit
atas Soengenep yang berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan
setempat yang bernama Jaran Panole dalam melawan agresi militer Majapahit yang
dipimpin oleh Gajah Mada. Juga cerita yang mendasari Perang Bubat yang
merupakan kesalah an besar dalam diplomasi Majapahit. (Terkait dengan perang
Bubat lihat H. J. Van Den Berg, et all, Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia
Jilid I: India, Tiongkok, dan Djepang, Indonesia. Cetakan II. (Jakarta ¨C
Groningen: J. B.Wolters, 1952).
Islam: Jati Diri Bangsa
Pakar
sejarah Melayu, Prof. Naquib Al-Attas menolak keras teori para sarjana Barat
yang menganggap kehadiran Islam di wilayah Melayu-Indonesia ini tidak
meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Ia menulis,
“Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam
struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad
Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan
terkupas menonjolkan ke hinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun
menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan
sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka.” (Lihat, Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu,
1990:41).
Al-Attas
juga menekankan kekeliruan hasil penelitian ilmiah Barat yang meletakkan serta
mengukuhkan kedaulatan kebudayaan dan peradaban Jawa sebagai titik tolak
permulaan kesejarahan Kepulauan Melayu-Indonesia. “Anggapan seperti inilah
hingga dewasa ini masih merajalela tanpa gugatan dalam pemikiran kesejarahan
kita.” (ibid, hlm. 40-41).
Al-Attas
bahkan menyebutkan, kedatangan Islam di wilayah Nusantara merupakan peristiwa
paling penting dalam sejarah kepulauan Melayu-Indonesia. M.C. Ricklefs dalam
bukunya, A History of Modern Indonesia, memulai penulisan sejarah
Indonesia modern dengan kedatangan Islam. Islam, tulisnya, membawa banyak
perubahan penting dan mendasar dalam masyarakat kepulauan Melayu-Indonesia.
Menurut
Al-Attas dalam Preliminary Statement on a General Theory of the
Islamization of the Malaysia Indonesian Archipelago, Islam datang ke
kepulauan Melayu-Indonesia membawa semangat religius yang amat intelektual dan
rasionalistis, sehingga mudah masuk ke dalam pikiran rakyat. Ini menyebabkan
kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme yang tidak dinyatakan dalam
masa-masa pra-Islam. Timbulnya rasionalisme dan intelektualisme ini dapat
dipandang sebagai semangat yang kuat yang menggerakkan proses revolusi dalam
pandangan dunia Melayu-Indonesia, dan mengelakkannya dari dunia mitologi yang
rontok. Semangat rasionalisme dan intelektualisme ini bukan saja di kalangan
istana dan keraton, bahkan juga merebak di kalangan rakyat jelata. Banyak
risalah tentang falsafah dan metafisika khusus ditulis bagi keperluan umum.
(hlm. 5-6)
Risalah-risalah
yang dihasilkan oleh para ulama Melayu-Indonesia ditulis dengan huruf Arab
meski tidak selalu berbahasa Arab. Bahasa bisa saja Jawa atau Melayu, tetapi
hurufnya Arab. Tulisan semacam itu disebut dengan tulisan Arab pegon.
Menulis dengan huruf Arab telah menjadi tradisi umat Islam di kepulauan
Melayu-Indonesia jauh hari sebelum mereka mengenal tulisan latin yang dibawa
oleh kolonialis Barat.
Peristiwa
penting lain yang secara langsung digerakkan oleh proses sejarah kebudayaan
Islam, menurut Al-Attas, adalah penyebaran bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar, bukan saja dalam kesusastraan epik dan roman, akan tetapi –lebih
penting— dalam pembicaraan falsafah. Bahasa Melayu mengalami suatu perubahan
revolusioner; di samping pengayaan sebagian besar perbendaharaan kata-katanya
yang berasal dari kata-kata Arab dan Persia. Bahasa itu menjadi media utama
untuk membawakan Islam ke seluruh kepulauan sehingga pada abad XVI, selambat-lambatnya,
telah mencapai kedudukan sebagai bahasa religius dan kesusasteraan menggantikan
hegemoni bahasa Jawa. Kesusasteraan Melayu berkembang dalam periode Islam. Abad
XVI dan XVII menyaksikan berlimpahnya tulisan Melayu mengenai mistisisme filosofis
dan teologi rasional yang tidak tertandingi. Terjemahan Al-Quran yang pertama
ke dalam bahasa Melayu dengan tafsiran yang didasarkan atas tafsiran termasyhur
dari Al-Baidhawi, dan terjemahan-terjemahan, tafsiran-tafsiran dan karya-karya
asli mengenai mistisisme filosofis dan teologi rasional juga muncul selama
periode ini yang menandai kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme yang
tidak dimanifestasikan di mana pun sebelumnya di kepulauan. (hlm. 27)
Bahasa
Melayu kemudian menjadi bahasa Islam dan berhasil menggerakkan ke arah
terbentuknya kesadaran nasional. Untuk menghilangkan pengaruh Islam,
sampai-sampai beberapa sekolah di Jawa yang didirikan oleh misionaris pada awal
abad XX menghindari penggunaan bahasa Melayu sejauh mungkin. Imam Yesuit Frans
van Lith, pendiri sekolah Muntilan berpendapat, ”Dua bahasa di sekolah-sekolah
dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda) adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya
mungkin bila kedua bahasa yang lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah
bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya
berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah
Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.”
Penolakan terhadap bahasa Melayu menjadi kebijakan tetap misi Yesuit di Jawa
Tengah. Salah satu alasannya, khawatir promosi bahasa Melayu akan menyiratkan
dukungan terhadap agama Islam.
Pengaruh
Islam yang sangat besar dalam sejarah Melayu-Indonesia merupakan fakta keras (hard
fact) yang tidak bisa dipungkiri. Pengaruh itulah yang selama berabad-abad
dicoba dihilangkan oleh kolonialis dan orientalis Belanda. Wajar, jika penjajah
melakukan rekayasa sejarah. Tentu, kemudian, tergantung umat Islam sendiri
–apapun suku bangsanya– apakah mau sadar atau tidak, bahwa mereka adalah
MUSLIM!
Politik Islam Pemerintahan Hindia Belanda yang dimaksudkan di
sini adalah kebijaksanaan pemerintahan Hindia Belanda dalam mengelola
masalah-masalah Islam di Indonesia pada masa kolonial. Kedatangan Islam di
Nusantara membuat pengaruh besar terhadap kehidupan sosial. Politik dan
Ekonomi. Peduduk lokal yang awalnya menganut agama Hindu Budha
berbondong-bondong menganut agama islam karena diajaran Islam tidak ada
kasta-kasta yang memilah-milah kesempatan umatnya, karena semua dihadapan Allah
itu sama kecuali ketakwaannya. Tidak hanya kaum pedagang dan golongan rendah
saja yang menganut islam, namun kaum menengah atas bahkan para Aristokrat dan
petinggi kerajaan ikut memeluk islam, dengan tujuan untuk membendung pengaruh
barat yang juga membawa ajaran agama kristen serta menjegah bangsa-bangsa barat
untuk memonopoli perdagangan di Nusantara yang sebelumnya banyak pedagang dari
Arab.Sejak didirikannya VOC bangsa Belanda selalu ingin ikut campur dalam
urusan Kerajaan. Mereka ingin memonopoli perdagangan di Indonesia dengan
memanfaatkan situasi intern suatu kerajaan.
Islam bukan saja sebuah agama namun beda tipis dengan sebuah politik. Menganut Islam berarti memerangi penguasa-penguasi kristen dan bangsa asing. Namun terkadang kekuasaan membuat seseorang lupa diri, meskipun banyak kaum ningrat memeluk islam, tpi mereka tetep bekerja sama dengan belanda untuk menindas para petani. Para kaum ini sangat berhati-hati dalm menyembintukan identitas keagamaanya. mereka juga disebut sebagai islam sekuler.
Pada sekitar abad 19, orang-orang belanda mengirimkan misionarisnya untuk berdakwah di Indonesia. Misionaris-misionaris ini dibatu dana dari negara belanda. Meskipun dapat dukungan penuh dari pemerintahan namun agama ini hanya berkembang sejara pelan-pelan dan wilayahnya hanya di Daerah-daerah yang belum terjamah oleh agama islam. Bagi Belanda Islam adalah ancaman, karena itu Belanda melarang Haji pada umat islam. Namun mengakibatkan banyak sekali pemberontakan-pemberontakan dikalangan umat islam.
Kemudia Belanda mengirim Sosok Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) ahli bahasa Arsb dan Islam. Bagi Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia sarjana yang berhasil. Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding. Namun, penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik.
Haris Haryadi
Islam bukan saja sebuah agama namun beda tipis dengan sebuah politik. Menganut Islam berarti memerangi penguasa-penguasi kristen dan bangsa asing. Namun terkadang kekuasaan membuat seseorang lupa diri, meskipun banyak kaum ningrat memeluk islam, tpi mereka tetep bekerja sama dengan belanda untuk menindas para petani. Para kaum ini sangat berhati-hati dalm menyembintukan identitas keagamaanya. mereka juga disebut sebagai islam sekuler.
Pada sekitar abad 19, orang-orang belanda mengirimkan misionarisnya untuk berdakwah di Indonesia. Misionaris-misionaris ini dibatu dana dari negara belanda. Meskipun dapat dukungan penuh dari pemerintahan namun agama ini hanya berkembang sejara pelan-pelan dan wilayahnya hanya di Daerah-daerah yang belum terjamah oleh agama islam. Bagi Belanda Islam adalah ancaman, karena itu Belanda melarang Haji pada umat islam. Namun mengakibatkan banyak sekali pemberontakan-pemberontakan dikalangan umat islam.
Kemudia Belanda mengirim Sosok Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) ahli bahasa Arsb dan Islam. Bagi Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia sarjana yang berhasil. Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding. Namun, penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik.
Haris Haryadi
Tahun 1889 Snouck Hurgronje[1] berangkat ke Hindia Belanda, untuk masa 2 tahun, mempelajari agama
Islam di Indonesia. Atas laporan-laporannya yang baik mengenai alam pikiran
orang Jawa dan Islam di Jawa tahun 1891 ia mendapat jabatan penasehat untuk
bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam. Tahun itu bulan Juni ia berangkat ke Aceh,
dan kurang setahun kemudian kembali di Batavia. Setelah dari Aceh ia menulis De Atjehers (2 jilid, 1893-4). “Karya itu
merupakan penerobosan, baik karena artinya untuk pengetahuan tentang Islam di
Hindia Belanda, maupun karena pembahasan bangsa Aceh sampai ke sumsum
kehidupannya. Pembahasan itu memberi landasan untuk pasifikasi di kemudian
hari. Keakraban Snouck dengan Aceh dan bahasa Aceh bermula di Mekah, di mana
rumah yang ditempatinya terletak di seberang “hotel” orang Aceh, yang
dikunjunginya setiap hari,” kata Wensink.
Pada tahun-tahun selanjutnya ia
secara bergantian berada di Batavia dan di Aceh.
Tahun 1906 Snouck mengajukan
permohonan cuti ke Eropa yang dikabulkan, karena ia membutuhkan waktu
istirahat. Baru samapai di Belanda ia ditawari jabatan guru besar bahasa Arab
di Leiden, dan ia menerima jabatan itu. Tahun 1913 ia memberikan
serangkaian ceramah tentang Islam atas undangan American Committee for Lectures on the History of Religions.
Antara tahun 1920-1922 Snouck
sibuk menjalankan tugas sebagai sekretaris Senat dan Rektor Universitas di
Leiden, dan dalam pengukuhannya ia berpidato dengan judul “De Islam en het
rassenprobleem” (Islam dan masalah rasialisme). Dan pada tahun 1927, pada
saat ulang tahunnya ia mendapat hadiah sejumlah uang dari kawan-kawannya. Uang
itu ia gunakan membangun Lembaga Ketimuran (Oostersch Instituut).
‘Politik Islam’ Hindia Belanda
Snouck menangani masalah
kebijaksanaan politik pemerintah Hindia Belanda tentang Islam pada masa kolonialisme.
Untuk mempertahankan kekuasaannya pemerintah Hindia Belanda melakukan berbagai
cara, di antaranya ide politik Islam dari tokoh kolonialis-orientalis Snouck
Hurgronje. Ia banyak meneliti tentang penduduk pribumi dan setelah ia
berpengalaman di Timur Tengah, ia memberikan nasehat-nasehat terhadap
pemerintah Hindia Belanda untuk menangani pribumi dan terutama Aceh.
Yang semula penjajah selalu
berdasar rasa takut dan tidak ikut campur dalam melihat Islam. Dengan penerapan
Politik Islam di mana Snouck Hurgronje sebagai peletak dasar, maka
pemerintah Hindia Belanda memiliki pola bagaimana menangani Islam. Terhadap
urusan ibadah pemerintah kolonial bersikap netral, namun dalam masalah politik
umat Islam harus dijaga dan dijauhkan. Para penasehat bekerja di Kantoor voor Inlandsche zaken yang bertugas memberikan nasehat kepada Gubernur Jenderal urusan
pribumi.[2]
Snouck Hurgronje dan Islam
Peran Snouck dalam menyokong
kolonialisme Belanda di Indonesia sangat besar. Untuk keperluan itu ia meneliti
Islam Nusantara dan ia berusaha masuk ke pusat Islam, Makkah. Ia bermukim di
sana, selama kurang lebih enam bulan, untuk mengumpulkan informasi mengenai
kaum muslim Jawa di kota itu. Ia dibantu Sayyid Usman.
Mengapa Snouck berhasil masuk
ke Makkah? Koningsveld mengungkapkan bahwa Snouck dengan keahliannya dapat
mengecoh ulama-ulama Makkah, bahwa ia seorang muslim, dengan nama samaran Abdul
Gaffar. Hasil penelitiannya itu, dan di Aceh kemudian, ia gunakan untuk bahan
nasehat-nasehat tentang bagaimana menangani kaum muslimin kepada pemerintah
Hindia Belanda.[3]
Polemik tentang Peran Snouck Hurgronje
Oleh generasi sesudah perang
para tokoh yang memiliki peran penting dalam politik kolonial Belanda disorot,
di antaranya Snouck Hurgronje. Sarjana yang yang
melancarkan kritik terhandap Snouck ialah PS. van Koningsveld. Ia seorang
peneliti ahli dalam sejarah Islam pada Fakultas Theologis, Universitas Leiden,
Belanda. Ia memberikan ceramahnya mengenai Snouck Hurgronje tentang perannya
dalam politik kolonial, dengan mengajukan beberapa pertanyaan: 1) apakah tujuan
SH pergi ke Makah untuk memperdalam pengetahuannya tentang Islam ataukah
menjalankan tugas pemerintah kolonial serta menjalankan penelitiannya?; 2)
apakah motivasi SH masuk agama Islam (dengan nama Abdul Gafur)?; 3) bagaimana
pendirian SH terhadap Islam di Indonesia, melindungi atau memerangi?; 4)
bagaimana sikap SH terhadap pribumi?
Dalam ceramahnya yang kemudian
disiarkan Koningsveld mengatakan bahwa SH selama di Tanah Suci Makah untuk
menyelidiki gerak-gerik para haji pribumi dari Hindia Belanda. Penyelidikannya
itu membantu penyusunan laporannya mengenai Aceh, yang kemudian menjadi buku De Atjehers. Dalam jilid kedua dipersoalkan
Koningsveld karena SH tidak mnyebutkan sumber datanya.
Ia didatangkan ke Hindia
Belanda setelah terjadi pemberontakan di Cilegon, Banten (Juli 1888). Pendirian
SH, kata Sartono Kartodirdjo, ada relevansinya dengan peristiwa itu. Di
kalangan pemerintah Belanda sendiri penuh Islamo-phobia serta kiai-phobia.[4]
Menurut Koningsveld masuk
Islamnya SH untuk tujuan memasuki kota Makah, untuk menyelidiki jamaah haji
Hindia Belanda. Di samping tujuan itu, SH mengikuti cara Ignaz Goldziher yang
mempelajari Islam dari dalam.[5]
Pandangan SH mengenai pribumi
bahwa kaum pribumi perlu diemansipasi dari keterbelakangan, yang dikenal dengan
“politik asosiasi”. Namun, dengan munculnya pergerakan nasional, politik
asosiasi mengalami kegagalan. [6]
Depok,
3 Agustus 2013
Islam Indonesia
dan Dasar-dasar Politik Belanda Terhadap Islam
Politik
Islam Pemerintahan Hindia Belanda yang dimaksudkan di sini adalah kebijaksanaan
pemerintahan Hindia Belanda dalam mengelola masalah-masalah Islam di Indonesia
pada masa kolonial. Kedatangan Islam di Nusantara membuat pengaruh besar
terhadap kehidupan sosial. Politik dan Ekonomi. Peduduk lokal yang awalnya
menganut agama Hindu Budha berbondong-bondong menganut agama islam karena
diajaran Islam tidak ada kasta-kasta yang memilah-milah kesempatan umatnya,
karena semua dihadapan Allah itu sama kecuali ketakwaannya. Tidak hanya kaum
pedagang dan golongan rendah saja yang menganut islam, namun kaum menengah atas
bahkan para Aristokrat dan petinggi kerajaan ikut memeluk islam, dengan
tujuan untuk membendung pengaruh barat yang juga membawa ajaran agama kristen
serta menjegah bangsa-bangsa barat untuk memonopoli perdagangan di Nusantara
yang sebelumnya banyak pedagang dari Arab.Sejak didirikannya VOC bangsa Belanda
selalu ingin ikut campur dalam urusan Kerajaan. Mereka ingin memonopoli
perdagangan di Indonesia dengan memanfaatkan situasi intern suatu kerajaan.
Islam
bukan saja sebuah agama namun beda tipis dengan sebuah politik. Menganut Islam
berarti memerangi penguasa-penguasi kristen dan bangsa asing. Namun terkadang
kekuasaan membuat seseorang lupa diri, meskipun banyak kaum ningrat memeluk
islam, tpi mereka tetep bekerja sama dengan belanda untuk menindas para petani.
Para kaum ini sangat berhati-hati dalm menyembintukan identitas keagamaanya.
mereka juga disebut sebagai islam sekuler.
Pada
sekitar abad 19, orang-orang belanda mengirimkan misionarisnya untuk berdakwah
di Indonesia. Misionaris-misionaris ini dibatu dana dari negara belanda.
Meskipun dapat dukungan penuh dari pemerintahan namun agama ini hanya
berkembang sejara pelan-pelan dan wilayahnya hanya di Daerah-daerah yang belum
terjamah oleh agama islam. Bagi Belanda Islam adalah ancaman, karena itu
Belanda melarang Haji pada umat islam. Namun mengakibatkan banyak sekali
pemberontakan-pemberontakan dikalangan umat islam.
Kemudia
Belanda mengirim Sosok Christiaan
Snouck Hurgronje (1857-1936) ahli
bahasa Arsb dan Islam. Bagi Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil
memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia sarjana
yang berhasil. Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding.
Namun, penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata
hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi
tugas keilmuan untuk kepentingan politik.
Kalangan liberal memuji setinggi langit kaum orientalis tanpa
kritik. Kaum Muslim seolah diminta belajar Islam dari orang yang tak mengimani
Islam. [bagian pertama]
Hidayatullah.com–Sekitar tahun 70-an, ?almarhum
Prof. HM Rasjidi pernah menunjukkan kuatnya pengaruh metode orientalis terhadap
buku wajib dalam studi Islam di Indonesia. Yang dimaksudkan adalah buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya“,
karya Prof. Harun Nasution.
30
tahun setelah benih orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution,
?cengkeraman’ orientalis dalam studi Islam sudah semakin merambah ke berbagai
bidang studi-studi lain, baik dalam studi agama-agama maupun dalam studi
Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya ?proyek-proyek pesanan’ negara-negara dan
LSM Barat dalam studi dan pemikiran Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan
mata kuliah hermeneutika di
IAIN atau UIN, hari ini, adalah salah satu bagian kecil dari imbas orientalis
yang tidak bisa dianggap hal yang enteng.
Dalam
sebuah kolom,? berjudul, “Mempertimbangkan Ulang
Orientalisme“, yang dimuat di situs http://islamlib.com,? aktivis Jaringan Islam
Liberal (JIL), Novriantono,memuji ?selangit’ kiprah para orientalis.
Katanya,
“Jaringan Islam Liberal menggelar diskusi tentang Islam dan Orientalisme.
Diskusi ini penting diadakan untuk meninjau, mengkritik, serta mengapresiasi
kembali kajian-kajian orientalisme yang kaya itu, terutama dalam bidang doktrin
dan peradaban Islam. Rasanya, sayang betul bila hasil kajian yang
bersungguh-sungguh dan mendalam tentang Islam itu dibuang begitu saja, hanya
karena kita sudah terjebak dalam pandangan yang pejoratif dan simplistik
tentang orientalisme.
Terasa
lebih sayang lagi bila kita mengabaikan kajian-kajian orang di luar kita hanya
karena alasan-alasan ideologis dan psikologis, bukan karena alasan ilmiah.
Penolakan ideologis atas orientalisme sampai kini sangat dipengaruhi oleh
kritik-kritik intelektual semacam Anwar Abdul Malik (1963), Hisyam Jaid (1978),
Edward Said (1978), dan Hassan Hanafi (1981) tentang keterkaitan orientalisme
dengan proyek kolonialisme. Kritik semacam ini, kini sudah sepantasnya ditinjau
ulang secara kritis.”
Banyak
orang –bahkan kaum cendekiawan Muslim– tiba-tiba silau mata. Mereka mendadak
percaya orang di luar Islam yang tidak mengakui akidah Islam, untuk melihat
Islam, seolah-olah orientalis lebih baik dari orang Islam sendiri.
Siapa
sesungguhnya mereka? Dan bagaimana kaum liberal sampai memuji-muji ?nyaris’
tanpa kritik sedikitpun. Hidayatullah.com,
?menurunkan profil orientalis yang pikirannya banyak diamini dan dijadikan
bahan rujukan oleh kaum liberal. []
***
Theodor
Noldeke (1836-1931)
Noldeke
lahir 2 Maret 1836, di Hamburg, Jerman. Ia seorang pakar semitik Jerman yang
ternama dan menyelesaikan studinya di Gottingen, Vienna, Leiden dan Berlin.?
Pada tahun 1859 tulisannya tentang ?Sejarah
Al-Quran’memenangkan penghargaan dari French Academie des Inscription.?
Tahun 1860, ia menuliskannya kembali, dibantu? muridnya Schwally, dari bahasa
Latin ke bahasa Jerman dengan judul ?Geschichte
des Korans. Dan mempublikasikannya dengan beberapa tambahan di Gottingen.?
Pada tahun 1861, ia mulai mengajar di Universitas Gottingen.? Tiga tahun
kemudian ia meraih gelar profesor.? Pada 1872 ia aktif di Oriental Languages di
Strassburg dan pensiun pada1906.
Tulisannya
tentang ?Semitic Languages’ dan
?The History and Civilization of Islam’ juga
mendapatkan penghargaan. Beberapa artikelnya pertama kali dipublikasikan oleh
Encyclopaedia Britannica.
Artikelnya
tentang Al-Quran dan sejenisnya dicetak lagi dalam sebuah bab yang diberinama ?Oriental Sketches’.? Beberapa karyanya adalah : Das Leben Mohammaeds (1863), Zur Grammatik des klassichen Arabisch(1896), Funf Mo’allaqat, iiberttzt und erklart (1899-1901),
dll.
Noldeke
bisa dikatakan dedengkot orientalis.? Selain ia menguasai sastra Yunani, ia
juga mendalami tiga bahasa Semit, yaitu Arab, Suryani dan Ibrani.? Ayahnya
banyak berperanan mengarahkan Noldeke untuk mempelajari berbagai bahasa itu.
Noldeke belajar bahasa Suyani kepada H Elwald, bahasa Arami kepada Bertheau dan
belajar bahasa Sansekerta kepada Benfay.
Ketika
masih duduk sebagai mahasiswa, Noldeke sudah mulai belajar bahasa Turki dan
Persia.? Ia meraih gelar sarjana mudanya pada usia 20 tahun dengan karya
tulisnya berjudul ?Tarikh Al-Quran’.
Pada usia itu ia mulai mengadakan penelitian ke luar Jerman.? Pertama, Noldeke
pergi ke Wina dan menetap disana selama setahun (1856-1857), dengan tujuan untuk
mempelajari dan meneliti manuskripmanuskrip yang tersimpan di perpustakaan
Wina.? Disitu Noldeke juga memperdalam bahasa Persia dan Turki, dengan
mempelajari syair-syair yang ditulis penyair besar Persia Sa’di dan Aththar.
Tahun
berikutnya, 1857-1858, Noldeke pindah ke Leiden. Di sini Noldeke menjumpai
manuskrip-manuskrip Arab yang amat banyak, sekaligus bertemu dengan
orientalis-orientalis terkemuka.? Seperti, Dozy, Juynboll, Mattys de Vries dan
Kuenen.? Pada saat yang sama, Noldeke juga berkenalan dengan tokoh-tokoh
orientalis muda Belanda yang terkenal, seperti de Goeje, de Jong dan Engelmann.
Setelah
menetap di Leiden, Noldeke pergi menuju ke Goeta, Jerman untuk meneliti
manuskrip-manuskrip di sana selama satu bulan.? Kemudian ia ke Berlin untuk tujuan
yang sama dengan dibantu orientalis Jerman, R Gosche, orang yang pertama kali
menyusun indeks tulisan-tulisan Al Ghazali. Ia turut membantu mewujudkan proyek
penyusunan indeks manuskrip-manuskrip Turki yang mencapai 200-300 manuskrip.?
Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Roma.? Meski Noldeke telah mengelilingi
Eropa, tapi ia sekalipun tidak pernah mengunjungi negeri-negeri Arab dan Islam.
Noldeke
sebenarnya mengembangkan pemikiran Abraham Geiger yang mengatakan bahwa
Al-Quran terpengaruh agama Yahudi.? Pertama, dalam hal-hal yang menyangkut keimanan dan
doktrin dan kedua, peraturan-peraturan
hukum dan moral dan ketiga tentang pandangan terhaap kehidupan.? Pada tahun
1833 Geiger menulis karya dalam bahasa Jerman (dialihkan dalam bahasa Inggris)
berjudul “What Did Muhammad Borrow
from Judaism?”
Tulisan
Noldeke tentang Sejarah Al-Quran terus direvisi oleh muridnya Friedrich
Schwally dan karyanya diterbitkan dengan judul : The Origin of the Qur’an. (1909).? Pada tahun 1919 ia
menyelesaikan edisi keduanya dengan judul The Collection of The Qur’an. Ia juga merintis penyusunan,
penyusunan buku The History of the Text.?
Setelah Schwally meninggal, usahanya itu dilanjutkan oleh Bergstassser dan
terakhir disempurnakan oleh Otto Pretzl pada tahun 1938.? Jadi buku tentang
?Sejarah Al-Quran’ itu ditulis oleh ramai-ramai orientalis Jerman selama 68
tahun.? Hasilnya karya itu kini menjadi karya standar dalam masalah sejarah
kritis penyusunan Al-Quran bagi para orientalis (Lihat Adnin Armas, 2003, hal.
62-64).
Taufik
Adnan Amal, Dosen Ulumul Qur’an dan aktivis Islam Liberal, juga menjadikan
karya orientalis menjadi rujukan utamanya dalam menulis buku “Rekonstruksi
Sejarah Al-Quran.”
Joseph Schacht (1902-1969)
Ia
lahir di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902.? Ia mulai studi di perguruan tinggi
dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di
Universitas Prusia dan Leipzig. ?Tahun 1923, ia memperoleh gelar sarjana muda
di Universitas Prusia dan menjadi guu besar pada 1929.? Schacht menjadi dosen
di Universitas Frayburg, Jerman.? Pada tahun 1934 ia diundang untuk mengajar di
Universitas Kairo, Mesir.? Disitu ia
mengajar
fikih, bahasa Arab dan bahasa Suryani, di? jurusan Bahasa Arab, Fakultas
Sastra. Ia mengajar di Universitas Mesir hingga 1939.? Ketika terjadi Perang
Dunia II pada September 1939, Schacht pindah dari Mesir ke London dan bekerja
di Radio BBC,
London.? Di situ ia berperanan melancarkan propaganda melawan nazi Jerman.
Di
Inggris itu Schacht melanjutkan studinya di Universitas Oxford dan memperoleh
gelar Magister pada tahun 1948, serta gelar Doktor pada tahun 1952.? Ia
diangkat sebagau guru besar di seluruh universitas yang ada di kerajaan
Inggris. Pada tahun 1954, ia pakar fikih Islam ini, menjadi guru besar di
Universitas Leiden sampai 1959.? Ia dengan kawan-kawannya mengedit cetakan
kedua Dairat al Ma’arif al Islamiyah.? Kemudian ia ke New York dan menjadi guru
besar di Universitas Columbia dan meninggal di Amerika pada Agustus 1969.
Dalam
bidang Fikih, karya Schacht antara lain: Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932),
Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al
Fiqih(1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.
Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence
(Oxford, 1950).? Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii.
(Oxford, 1950).? Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii.
Guru
Besar Hadits dan Ilmu Hadits Universitas King Saud, Prof Dr MM Azami menulis
dua buku tentang pemutarbalikan sanad hadits
oleh Schacht. Azami, dengan bukti-bukti yang otentik -karyanya dipuji
orientalis Prof. AJ Arberry dari Universitas Cambridge Inggris-menulis kritik
Sacht dalam bukunya ?Studies in Early Hadith
Literature’ (terj. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya). Dalam buku itu Azami
menjelaskan bahwa teori Schacht tentang ?Sejarah
Pemalsuan Hadits’, banyak ditemui kesalahan dan pemutarbalikan fakta.
Misalnya
ketika Schacht meragukan suatu sanad:
“Amr bin Amr adalah rawi yang menjadi titik temu bersama untuk sanad-sanad
ini.? Dan sulit rasanya -dilihat dari tempatnya-Amr mondar-mandir untuk bertemu
dengan tuannya (al Muttalib) dan orang-orang yang tidak dikenal sehingga
sanadnya dapat disebut langsung.”
Terhadap
contoh sanad ini
ia menyebutnya sebagai gejala umum dalam hadits-hadits Nabi saw.? Setelah
melakukan kajian yang mendalam Prof. Azami menemukan bahwa? seorang yang tidak
dikenal (seorang dari suku Bani Salamah) itu sebenarnya adalah al Muttalib
sendiri.? Ia kemudian meluruskan diagram sanad yang dibuat salah oleh Schacht
(Azami, hal.557-561).
Schacht
juga melakukan tuduhan kepada Hadits : “Sanad-sanad hadits itu sebagian besar
adalah palsu…dan hal ini diketahui oleh semua orangbahwa sanad-sanad itu
pemakaiannya dimulaidalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian berkembang dan
mencapai bentuknyayang sempurna pada paruh kedua abad ketiga hijri,… Kebanyakan
sanad-sanad itu tidak mendapatkan perhatian yang cukup.? Apabila ada suatu
kelompok yang ingin menisbatkan pendapatnya dengan orang-orang dahulu, maka
kelompok tersebut akan memilih tokoh-tokoh orang dahulu itu dan menaruhnya
dalam sanad.”
Terhadap
pendapat Schact itu, Prof. Azami menyatakan: “Penggunaan sanad sudah dimulai
pada masa Nabi saw, hanya saja metode ahli-ahli hadits dalam menggunakan sanad itu tidak sama, khususnya pada masa Sahabat.
Dan dapat kita katakan bahwa perhatian terhadap pentingnya sanad itu? mencapai
puncaknya pada akhir abad pertama.? Dalam bab lalu, kita juga sudah mengetahui
jumlah rawi-rawi hadits dan tempat tinggal mereka yang saling berjauhan.?
Apalagi apabila hal itu ditambah dengan perbedaan umur serta tradisi mereka.
Oleh
karena teori Schacht yang disebut dengan ?Projecting
Back’ (Proyeksi ke Belakang) itu sulit dibayangkan, bahkan prakteknya
juga mustahil.”
Kamaruddin
Amin, kandidat doktor Bonn University, Germany yang juga aktivis Islam Liberal
(JIL), dalam sebuah tulisan berjudul, “Diskursus Hadis di Jerman”, membela
Joseph Schacht terhadap studi hadits di Barat.? “Tentu naif menolak satu
tradisi intelektual secara a-priori tanpa mengetahui esensi tradisi tersebut.
Tantangan buat kita semua.”
Ignaz
Goldziher (1850-1921)
Goldziher
adalah termasuk orientalis terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu Islam.? Ia lahir
pada 22 Juni 1850, di Hongaria.? Ia berasal dari keluarga Yahudi yang
terpandang.?? Pendidikannya dimulai dari Budhapest kemudian melanjutkan ke
Berlin pada tahun 1869 dan pindah lagi ke Universitas Leipzig.
Goldziher
dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka saat itu yaitu Fleisser,
pakar filologi (ilmu tentang asal-usul kata). Goldziher memperoleh gelar
doktoral tingkat pertama pada tahun 1870 dengan karyanya : “Penafsir Taurat
yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah.”
Ia
kemudian kembali ke Budapest dan ditunjuk sebagai asisten Guru Besar di Univeritas
Budhapest pada tahun 1872.? Ia tidak lama mengajar, dan lalu meneruskan
studinya di Wina dan Leiden.? Setelah itu ia mengadakan perjalanan ke Timur
Tengah, Suriah dan Palestina dan kemudian menetap di Kairo.
Ketika
di Universitas Budapoest, ia banyak menekankan kajian peradaban Arab, khususnya
agama Islam. Pada tahun? 1894, ia diangkap menjadi profesor kajian bahasa
Semit.? Goldziher memang snagat cerdas.? Pada usia 16 tahun, ia telah sanggup
menerjemahkan dua buah kisah Turki ke dalam bahasa Hongaria. Saat itu ia juga
biasa membaca buku-buku tebal dan memberikan ulasannya.? Buku klasik pertama
yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum.? Ia kemudian mendalami kajian
fikih dan ushul fikih.? Tahun 1889 menulis karangan tentang hadits berjudul Dirasah Islamiyah, dua juz. Dalam bukunya ?Al Aqidah was Syariah fil Islam’ Goldziher
banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad saw.? Prof. Ahmad
Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini.? Menurut Jamal, pada halaman 12,
Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan
pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad.. hal ini diketahui
dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani
dan lain-lainnya.
Dalam
buku itu, Goldziher juga menyatakan: “Sesungguhnya Muhammad telah memilihkan
ajaran-ajaran Islam dari agama-agama yang menonjol pada masanya, yaitu agama
Yahudi, Nasrani, Majusi dan agama berhala, setelah ia melakukan
penyaringan…Islam tidak mampu mempersatukan bangsa Arab dan menghimpun
kabilah-kabilah yang bermacam-macam kepada tata peribadatan yang satu.”? (Prof
Ahmad M Jamal, hal. 250).
Menurut
Prof. Jamal, tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh Goldziher itu bukan barang
yang aneh. Dulu, ketika turun Al-Quran, orang-orang Musyrik juga menyatakan
Muhammad seorang yang gila, tukang sihir, mendongeng palsu dan lain-lain.?
Al-Quran bahkan turun meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
Yahudi dan Nashrani. [nuim hidayat, dari berbagai sumber/www.hidayatullah.com]… berlanjut
Tags: Ar Risalahnya Imam Syafii, Diskursus Hadis di Jerman, Goldziher, Harun Nasution, orang Musyrik, Orientalisme, The Origins of Muhammadan Jurisprudence
POLITIK
ISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA
POLITIK
ISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA
( H. Aqib Sumanto )
Pada masa klonial belanda, di Indonesia Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagia besar penduduk yag dijajahnya di kepulauan nusantara ini adalah beragama islam. Timbulya aneka perlawanan seperti perang paderi (1821-1827), perang Dipenogoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903) dan lain-lainnya, betapapun tidak terlepas dari kaita agama ini. Namun karena kurangnya pengetahuan yang tepat tentang islam, mula-mula belanda tidak berani mencampuri agama ini secara langsung. Sikap belanda dalam masalah ini dibentuk oleh kombinasi konttradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan. Di satu pihak belanda sangat khawatir dengan akan timbulnya pemberontakan orang-orang islam yang fanatic. Sementara di pihak lain belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan.
Kebijaksanaan belanda yang tudak mencampuri urusan agama tersebut ternyata tidak konsisten, terbukti pemerintah colonial sering mencurigai para haji yang dianggap fanatic da suka memberontak. Pda tahun 1859, Gubernur jenderal dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak-grik para ulama, bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan. Disini terlihat bahwa kebijaksanaan tidak mencampuri agama hanya bersifat sementara, karena belum dikuasainya masalah islam islam sepenuhnya.
Setelah kedatangan snouck Hurgronje pada tahu 1889, maka ketakutan yang menyelimuti pemerintah colonial tentang islam itu hilang. Snouck hurgronje menjelaskan tentang pengetahuannya terhadap islam. Dia menegaskan bahwa dalam islam tidak dikenal lapisan kependetaan semacam dalam Kristen. Kyai tidak apriori fanatic, penghulu merupakan bawahan pemerintah pribumi, ulama independent bukanlah komplotan jahat, pergi haji ke mekkah pun bukan berarti fanatic berjiwa pemberontak, sebab mereka hanya menginginkan ibadah. Baru setelah itu pemerintah belanda mempunyai kebijakan yang jelas mengenai islam.
Dengan politik islamnya, maka snouck hurgrinje menemukan seni memahami da meguasai penduduk yang sebagian besar muslim. Dialah Arsitek keberhasilan politik islam yang paling legendaries yang telah melengkapi pengetahuan belanda tentang islam, terutama dalam bidang sosial dan politik, disamping berhasil meneliti mentalitas ketimuran dan islam.
Sekalipun snouck hurgronje menegaskan bahwa pada hakekatnya orang islam di Indonesia itu penuh damai, namun dia pun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme islam. Bagi dia, musuh kolonialisme bukanlah islam sebagai agama, melainkan islam sebagi doktrin politik. Dalam kenyataannya memang islam di Indonesia berfungsi sebgai titik pusat identitas yang melambangkan oerlawanan terhadap pemerintah Kristen dan asing.
Menghadapi maslah sepperti itu, maka snouck hurgronje mebuat kebijakansanaan pemerintah colonial dalam mengani masalah islam di Indonesia yaitu yang disebut islam politiek. Kemudian dia membedakan islam dalam pengertian ibadah dan islam sebagai kekutan sosial politik. Dalam hal ini dia membagi maslah islam dalam 3 katergori, yaitu :
1. bidang agama murni atau ibadah.
2. Bidang sosial kemasyarakatan.
3. bidang politik.
Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada umat islam untuk beribadah dan melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak menggangu kekuasaan pemerintah belanda. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah belanda memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakan rakyat agar mendekti belanda, bahkan membantu rakyat yang akan menempuh jalan tersebut. Tetapi dalam bidang ketatanegaraan, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan pan islam.
( H. Aqib Sumanto )
Pada masa klonial belanda, di Indonesia Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagia besar penduduk yag dijajahnya di kepulauan nusantara ini adalah beragama islam. Timbulya aneka perlawanan seperti perang paderi (1821-1827), perang Dipenogoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903) dan lain-lainnya, betapapun tidak terlepas dari kaita agama ini. Namun karena kurangnya pengetahuan yang tepat tentang islam, mula-mula belanda tidak berani mencampuri agama ini secara langsung. Sikap belanda dalam masalah ini dibentuk oleh kombinasi konttradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan. Di satu pihak belanda sangat khawatir dengan akan timbulnya pemberontakan orang-orang islam yang fanatic. Sementara di pihak lain belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan.
Kebijaksanaan belanda yang tudak mencampuri urusan agama tersebut ternyata tidak konsisten, terbukti pemerintah colonial sering mencurigai para haji yang dianggap fanatic da suka memberontak. Pda tahun 1859, Gubernur jenderal dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak-grik para ulama, bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan. Disini terlihat bahwa kebijaksanaan tidak mencampuri agama hanya bersifat sementara, karena belum dikuasainya masalah islam islam sepenuhnya.
Setelah kedatangan snouck Hurgronje pada tahu 1889, maka ketakutan yang menyelimuti pemerintah colonial tentang islam itu hilang. Snouck hurgronje menjelaskan tentang pengetahuannya terhadap islam. Dia menegaskan bahwa dalam islam tidak dikenal lapisan kependetaan semacam dalam Kristen. Kyai tidak apriori fanatic, penghulu merupakan bawahan pemerintah pribumi, ulama independent bukanlah komplotan jahat, pergi haji ke mekkah pun bukan berarti fanatic berjiwa pemberontak, sebab mereka hanya menginginkan ibadah. Baru setelah itu pemerintah belanda mempunyai kebijakan yang jelas mengenai islam.
Dengan politik islamnya, maka snouck hurgrinje menemukan seni memahami da meguasai penduduk yang sebagian besar muslim. Dialah Arsitek keberhasilan politik islam yang paling legendaries yang telah melengkapi pengetahuan belanda tentang islam, terutama dalam bidang sosial dan politik, disamping berhasil meneliti mentalitas ketimuran dan islam.
Sekalipun snouck hurgronje menegaskan bahwa pada hakekatnya orang islam di Indonesia itu penuh damai, namun dia pun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme islam. Bagi dia, musuh kolonialisme bukanlah islam sebagai agama, melainkan islam sebagi doktrin politik. Dalam kenyataannya memang islam di Indonesia berfungsi sebgai titik pusat identitas yang melambangkan oerlawanan terhadap pemerintah Kristen dan asing.
Menghadapi maslah sepperti itu, maka snouck hurgronje mebuat kebijakansanaan pemerintah colonial dalam mengani masalah islam di Indonesia yaitu yang disebut islam politiek. Kemudian dia membedakan islam dalam pengertian ibadah dan islam sebagai kekutan sosial politik. Dalam hal ini dia membagi maslah islam dalam 3 katergori, yaitu :
1. bidang agama murni atau ibadah.
2. Bidang sosial kemasyarakatan.
3. bidang politik.
Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada umat islam untuk beribadah dan melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak menggangu kekuasaan pemerintah belanda. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah belanda memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakan rakyat agar mendekti belanda, bahkan membantu rakyat yang akan menempuh jalan tersebut. Tetapi dalam bidang ketatanegaraan, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan pan islam.
SITUASI SOSIAL POLITIK KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA MASA
PENJAJAHAN BELANDA
1. I. PENDAHULUAN
Islamisasi
di Indonesia melalui berbagai jalur, baik dari jalur perdagangan maupun dari
perkawinan. Dan masuknya Islam di Indonesia terjadi sebelum orang-orang Barat
mencari rempah-rempah di Indonesia sekitar abad ke-13 M, dimana masyarakat
muslim sudah berada di Samudra Pasai, Perlak dan Palembang di Sumatra. Sampai
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam itu, perkembangan Islam di Indonesia dapat
dibagi menjadi 3 fase, dari singgahnya pedagang-pedagang Islam di
pelabuhan-pelabuhan Nusantara, adanya komunitas Islam dari beberapa daerah
kepulauan Indonesia, sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
Sebelum
datangnya bangsa-bangsa Barat kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia berbeda, ada yang mengalami perluasan daerah kekuasaan
seperti Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 sampai ke-10 M., dan ada pula yang
kekuasaannya mengalami kegoncangan, seperti Kerajaaan Majapahit. Situasi itu
dapat berlangsung lama sampai abad ke-15. Di samping itu juga setelah datangnya
Belanda ke Indonesia sekitar abad ke-15, situasi dan kondisi
kerajaan-kerajaannya juga berbeda, bukan hanya berkenaan dengan kemajuan
politik tetapi juga proses Islamisasi.
1. II. RUMUSAN MASALAH
2. Bagaimana Situasi dan Kondisi Kerajaan Islam di Indonesia ketika
Belanda Datang?
3. Bagaimana Latar Belakang Kedatangan VOC, Hindia-Belanda?
4. Bagaimana Penetrasi Politik dan Politik Islam Hindia-Belanda?
5. Bagaimanakah Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Penjajahan
Belanda?
1. III. PEMBAHASAN
2. 1. Situasi dan Kondisi Kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda
Datang
Menjelang
kedatangan Belanda di Indonesia pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17
keadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia tidaklah sama. Perbedaan keadaan
tersebut bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga dalam
proses pengembangan Islam di kerajaan-kerajaan tersebut. Misalnya di Sumatra,
penduduk sudah memeluk Islam sekitar tiga abad, sementara di Maluku dan
Sulawesi penyebaran agama Islam baru saja berlangsung.
Di Sumatera, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, percaturan
politik di kawasan Selat Malaka merupakan perjuangan segitiga: Aceh, Portugis,
dan Johor yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Malaka Islam.[1]
Pada abad ke-16, tampaknya Aceh menjadi lebih dominan, terutama
karena para pedang Muslim menghindar dari Malaka dan memilih Aceh sebagai
pelabuhan transit. Aceh berusaha menarik perdagangan internasional dan antar
kepulauan nusantara. Bahkan, ia mencoba menguasai pelabuhan-pelabuhan
pengekspor lada, yang ketika itu sedang banyak permintaan. Kemenangan Aceh atas
Johor, membuat kerajaan terakhir ini pada tahun 1564 M menjadi daerah vasal
dari Aceh.[2]
Kemajuan Aceh dilanjutkan oleh menantu Iskandar Muda, Iskandar
Tsani (Iskandar II). Menantunya yang liberal ini dapat mengembangkan Aceh dalam
beberapa tahun kedepan. Dengan lembut dan adil, Iskandar Tsani mendorong
perkembangan agama dan melarang pengadilan dengan penyiksaan fisik. Pada masa
ini, pengetahuan keagamaan juga maju pesat. Namun, kematian Iskandar Tsani yang
dini, diikuti oleh masa-masa bencana tatkala beberapa sultan perempuan
menduduki singgahsana pada 1641-1699 M, menjadikan Aceh lemah. Banyak wilayah
taklukannya yang lemah dan kesultanan pun terpecah-pecah.[3]
Dan kemudian kondisi negeri juga mulai mengalami penurunan
disebabkan oleh banyaknya peperangan dan krisis ekonomi. Karena peperangan yang
terus-menerus melawan Barat, yang menyebabkan penderitaan yang sangat berat
bagi Aceh. Akhirnya, negeri ini jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1322 H/ 1904
M.[4]
Di Jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah dari pesisir ke
pedalaman, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram. Berpindahnya pusat
pemerintahan itu membawa pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan
sejarah Islam di Jawa, diantaranya: (1) kekuasaan dan sistem politik didasarkan
atas basis agraris, (2) peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran
mundur, demikian juga peranan pedagang dan pelayar Jawa, dan (3) terjadinya
pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala akibatnya.[5]
Di Sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan Makassar berkembang
dengan pesat. Letaknya memang strategis. Faktor-faktor yang mempercepat
perkembangan tersebut, pertama, pendudukan
Malaka oleh Portugis mengakibatkan terjadinya migrasi pedagang Melayu, antara
lain ke Makassar. Kedua, arus migrasi Melayu
bertambah besar setelah Aceh mengadakan ekspedisi terus menerus ke Johor dan
pelabuhan-pelabuhan ke Semenanjung Melayu. Ketiga, blokade
Belanda terhadap Malaka dihindari oeh pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun
India, Asia Barat dan Asia Timur. Keempat, merosotnya
pelabuhan Jawa Timur mengakibatkan fungsinya diambil oleh pelabuhan Makassar.Kelima, usaha Belanda memonopoli perdagangan
rempah-rempah di Maluku membuat Makassar mempunyai kedudukan sentral bagi
perdagangan antara Malaka dan Maluku. Itu semua membuat pasar berbagai macam
barang berkembang disana.
Sementara itu, Maluku, Banda, Seram, dan Ambon sebagai pangkal
atau ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin
menguasainya dengan politik monopolinya. Ternate dan Tidore dapat terus dan
berhasil mengelakkan dominasi total dari Portugis dan Spanyol, namun ia
mendapat ancaman dari Belanda yang datang ke sana.[6]
1. 2. Latar Belakang Kedatangan VOC, Hindia Belanda
Perkembangan
dan pertumbuhan Islam di Indonesia menyebabkan berdirinya beberapa kerajaan
Islam. Kemudian karena Indonesia kaya raya, maka datanglah bangsa-bangsa Barat,
diantaranya Portugis di tahun 1512 M, kemudian disusul Spanyol pada tahun 1521
M, lalu Prancis pada tahun 1529 M, dan Belanda tahun 1596 M, baru Inggris
datang kemudian.
Maksudnya semua hendak berniaga di samping mengembangkan kristen,
sebagai alat menanamkan pengaruh dan kekuasaan, di samping itu juga untuk
mengembangkan usaha perdagangan yaitu ingin mendapatkan rempah-rempah yang
mahal harganya di Eropa. Namun olehnya mereka melakukan tekanan dan paksaan,
sehingga Indonesia menjadi jajahan bangsa barat (Belanda) tiga setengah abad
lamanya.[7]
Karena melihat hasil yang diperoleh perseroan Amsterdam, yang mengirim
armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun 1595 M terdiri dari
empat kapal, di bawah pimpinan Cornelis De Houtman. Menyusul kemudian angkatan
kedua tahun 1598 M di bawah pimpinan Van Nede, Van Heemskerck, dan Van Warjick.
Selain dari Amsterdam, juga datang beberapa kapal dari berbagai kota di
Belanda. Angkatan ketiga berangkat tahun 1599 M dibawah pimpinan Van Der Hagen
dan angkatan keempat tahun 1600 M dibawah pimpinan Van Neck. Sehingga banyak
perseroan lain berdiri yang juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia.
Pada bulan Maret 1602 M, perseroan-perseroan ini bergabung dan disahkan
oleh Staten-General Republik dengan satu piagam yang
memberi hak khusus kepada perseroan gabungan tersebut untuk berdagang, berlayar
dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan kepulauan Solomon,
termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu bernama Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC).[8]
Melihat
isi piagam tersebut, jelas bahwa VOC, disamping berdagang dan berlayar, juga
diberi hak untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam rangka menunjang
uasaha perdagangannya. Boleh jadi, hak politik itu diberikan karena hal yang
sama juga berlaku bagi negara-negara Eropa lainnya, seperti Portugis yang datang
ke kepulauan Indonesia hampir seabad sebelum Belanda. Sebelum itu, Belanda
sudah berhasil mendirikan faktotai di Aceh (1601 M), Pathani (1601 M) dan
Gresik (1602 M).
VOC yang
berpusat di Amsterdam itu merumuskan langkah-langkah sebagai berikut:
1)
Kompeni Belanda itu boleh membuat/mengadakan perjanjian dengan raja-raja di
Hindia Timur atas nama kerajaan Belanda.
2)
Kompeni Belanda boleh membangun kota, benteng dan kubu-kubu pertahanan di
tempat-tempat yang dipandang perlu.
3) Kompeni Belanda boleh mengadakan
serdadu sendiri, gubernur dan pegawai-pegawai sendiri, sehingga menjadi serupa
pemerintah. [9]
Dalam
pelayaran pertama, VOC sudah mencapai Banten dan Selat Bali. Pada pelayaran
kedua, mereka sampai ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Dalam angkatan
ketiga, mereka sudah terlibat perang melawan Portugis di Ambon, tetapi gagal,
yang memaksa mereka mendirikan benteng tersendiri. Mereka kali ini sudah
berhasil membuat kontrak dengan pribumi mengenai jual beli rempah-rempah. Dalam
angkatan keempat, mereka berhasil membuka perdagangan dengan Banten dan
Ternate, tetapi mereka gagal merebut benteng Portugis di Tidore.
Pada
tahun 1798 M, VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta golden.
Sebelumnya pada tahun 1795 M izin operasinya dicabut. Kemunduran, kebangkrutan,
dan dibubarkannya VOC disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pembukuan
yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, hutang besar, dan sistem
monopoli serta sistem paksa dalam pengumpulan bahan-bahan/ hasil tanaman
penduduk menimbulkan kemeresotan moril baik para penguasa maupun penduduk yang
sangat menderita.
Dengan bubarnya VOC, pada pergantian abad ke-18 secara resmi
Indonesia pindah ke tangan pemerintah Belanda. Pemerintahan Belanda ini
berlangsung sampai tahun 1942 M dan hanya diinterupsi pemerintahan Inggris
selama beberapa tahun pada 1811-1816 M. Sampai pada tahun 1811 M, pemerintahan
Hindia Belanda tidak mengadakan perubahan yang berarti. Bahkan pada tahun 1816
M, Belanda malah memanfaatkan daerah jajahan untuk memberi keuntungan
sebanyak-banyaknya kepada negeri induk, guna menanggulangi masalah ekonomi
Belanda yang sedang mengalami kebangkrutan akibat perang. Pada tahun 1830 M,
pemerintahan Hindia Belanda menjalankan sistem tanam paksa. Setelah terusan
Suez dibuka dan industri di negeri Belanda sudah berkembang pemerintah
menerapkan politik liberal di Indonesia.[10]
1. 3. Penetrasi Politik Belanda dan Politik Islam Hindia-Belanda
a)
Penetrasi Politik Belanda
Penetrasi
Belanda dalam dunia politik seringkali justru diundang oleh
konflik-konflik internal suatu kerajaan atau konflik antar kerajaan di
Indonesia. Yaitu di Sulawesi terdapat konflik dalam negeri antara Gowa-Tallo
dengan Bone. Sehingga VOC mampu memonopoli di Makasar maupun di Indonesia
bagian timur. Selanjutnya penetrasi politik Belanda terjadi di Banjarmasin.
Pada mulanya Belanda datang pada abad ke-17, dengan susah payah mendapat izin
untuk berdagang disitu, namun diusir beberapa kali. Akhirnya Belanda
mendapat izin dari Sultan Tahlilillah. Perebutan kekuasaan oleh Pangeran Amir
dan Pangeran Nata, yang mana dimenangkan Pangeran Nata dengan bantuan Belanda,
membuat kekuasaan Belanda semakin besar dan kokoh. Dan akhirnya secara de
facto, Belanda sudah menjadi penguasa politik di Banjarmasin.
Di samping itu juga Indonesia terjadi konflik intern, sehingga
seperti bola dalam keranjang yang mudah dipermainkan oleh penjajah. Dan itu
terjadi karena politik pecah belah penjajah itu. Ini semua mempengaruhi ajaran
agama Islam menjadi mundur, kerajaan-kerajaan Islam dari hari ke hari menjadi
kecil dan lemah.[11]
Penetrasi VOC ke Minangkabau dijalankan dengan menggunakan
berbagai strategi sejak tahun 1663 M. Panglima Aceh yang berkedudukan di
Minangkabau dan raja Minangkabau diberi kredit dalam transaksinya. VOC menuntut
jabatan wali negara ditempatkan di sana dan secara de facto berarti kekuasaan
ada di tangan VOC. Setelah itu, dengan cepat mengadakan kontrak dengan
daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Minangkabau. Akibatnya,
hubungan baik antara Minangkabau dan Aceh terputus.[12]
b)
Politik Islam Hindia-Belanda
Di
Indonesia, Belanda menghadapi kenyataan bahwa mayoritas penduduk yang
dijajahnya adalah beragama Islam. Sebelum kedatangan Snouck Hurgronje,
politik pemerintahan Belanda terhadap Islam didasarkan pada perasaan takut dan
sikap tidak mau mencampuri. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
mereka secara tepat mengenai agama Islam. Pada umumnya, mereka takut kepada
ungkapan-ungkapan apa yang disebut dengan fanatisme Islam sehingga mereka
berusaha menekan dan mencegah dengan cara menjauhkan diri dari urusan-urusan
mengenai Islam.
Kedatangan Snouck Hurgronje, seorang yang sangat ahli tentang
Islam. Snouck sendiri membuat sebuah teori yang disebut dengan “Islam politiek”
dengan dalih “asosiasi”. Snouck H bukan saja bertindak sebagai seorang ilmuwan,
tetapi juga selaku ilmuwan yang mengabdikan ilmunya untuk kepentingan politik
kolonialisme Belanda di Indonesia. Salah satu pengabdiannya yang terpenting
adalah membebaskan orang Indonesia dari Islam.[13]
Asosiasi lebih memperlihatkan corak kolonial. Ia mengandung maksud
bagaimana mengikat negeri jajahan dengan negeri penjajah. Dalam hubungan ini
kebudayaan dianggap sebagai sarana yang sangat efektif, manfaat kebudayaan
negeri penjajah akan terbuka untuk dipergunakan oleh negeri yang dijajah tanpa
mengabaikan kebudayaan negeri yang dijajah ini.[14]
Dengan
politik itu Snouck membagi masalah Islam dalam tiga kategori, yaitu:
1)
Bidang Agama Murni atau Ibadah
Terhadap
bidang agama murni pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam
untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan
pemerintah Belanda.
2)
Bidang sosial kemasyarakatan
Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat
kebiasaan yang berlaku sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk
membatasi keberlakuan hukum Islam, yakni teori reseptie yang maksudnya hukum Islam baru bisa
diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adat kebiasaan. Oleh karena itu,
terjadi kemandekan hukum Islam.
3)
Bidang politik
Pemerintah melarang orang Islam membahas hukum Islam baik dari
al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan atau
ketatanegaraan.[15]
1. 4. Perlawanan Rakyat terhadap Penjajahan Belanda
Penjajahan
Belanda terhadap Bangsa Indonesia mendapat perlawanan sengit dari Rakyat dan
Bangsa Indonesia pada umumnya. Mereka mengadakan perlawanan terhadap penjajah
Belanda karena Bangsa Indonesia merasa dijajah dan diperlakukan semena-mena
oleh Belanda. Perlawanan tersebut tidak hanya bermotif politik kebangsaan,
melainkan juga karena motif agama. Penjajah Belanda di samping ingin menguasai
Indonesia, juga menyebarkan agama mereka, yaitu Kristenisasi terhadap penduduk
pribumi. Akibatnya rakyat dan Bangsa Indonesia dihampir semua wilayah
mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Di samping itu perlawanan-perlawanan rakyat terhadap penjajahan
juga berlangsung terus-menerus di satu wilayah dan wilayah yang lainnya.[16] Perlawanan-perlawanan
itu antara lain sebagai berikut:
1)
Perang Padri di Minangkabau
Perang
melawan kolonialisme di daerah Minangkabau bermula dari pertentangan antara dua
pihak dalam masyarakat, dan sering dinamakan gerakan Padri yang di mulai pada
awal abad ke-19. Tujuannya adalah untuk memurnikan ajaran agama Islam, membasmi
adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah Nabi.
Perkembangan
yang kenudian tampak di Minangkabau adalah timbulnya kebiasaan-kebiasaan buruk
yaitu menyabung ayam, berjudi dan minum-minuman keras. Kebiasaan ini makin
meluas dan mempengaruhi kelompok pemudanya.
Menghadapi keadaan ini kaum Ulama/padri mulai mengadakan reaksi,
sehingga gerakannya dikenal dengan gerakan Padri. Kaum Padri ini memperbaiki
keadaan masyarakat dengan cara mengembalikan pada ajaran Islam yang murni,
sejak itu timbul bibit-bibit pertentangan antara kaum Padri dan kaum Adat.[17]
Pusat kekuasaan Minangkabau adalah Pagaruyung, tetapi raja hanya
berfungsi sebagai lambang. Kekuasaan sesungguhnya berada di tangan penghulu
adat. Walaupun Islam sudah masuk sejak abad ke-16, tetapi prosessinkretisme berlangsung lama. Pemurnian Islam di
mulai oleh Tuanku Koto Tuo dengan pendekatan damai tetapi, pendekatan itu tidak
di terima oleh murid-muridnya yang lebih radikal, terutama Tuanku Nan Renceh,
seorang yang amat berpengaruh dan memiliki banyak murid di daerah Luhak Agam.[18]
Pada
akhir abad ke-18, seorang ulama’dari kampung Kuta Tuo yaitu Tuanku Koto Tuo
mulai mengajarkan pembaharuan-pembaharuan. Beliau mengajarkan bahwa masyarakat
sudah terlalu jauh menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Kemudian
ditunjukkannya bagaimana seharusnya hidup sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah
Nabi.
Sementara
itu, pada tahun 1803 telah kembali ke Makkah tiga orang haji, yakni Haji Miskin
dan Pandai Sikat, Haji Sumanik, dan Delapan Kota, dan Haji Piabang dari Tanah
Datar. Ketiga ulama’ ini menyaksikan secara langsung bagaimana kaum Wahabbi di
Makkah meluruskan agama dan membasmi bid’ah, sehingga mereka ingin meluruskan
pula agama di negerinya Minangkabau.
Di antara
kedudukan kaum padri yang kuat adalah Bonjol. Di sini didirikan benteng yang
cukup besar, di dalamnya terdapat sebuah masjid, 40 rumah dan 3 gubug kecil.
Ketika
Datuk Bandoro meninggal karena terkena racun. Ia digantikan oleh Muhammad
Syahab atau Pelo (Pendito) Syarif yang kenudian dengan Tuanku Imam Bonjol.
Tuanku Imam Bonjol yang lahir pada tahun 1774 adalah anak dari Tuanku
Rajanuddin dari kampung Padang Bubus, Tanjung Bungo, daerah lembah Alahan
Panjang.
Perang
saudara ini meluas terus dan kemudian mengalami perkembangan baru setelah
kekuasaan asing mulai campur tangan. Kemudian kaum adat ini minta bantuan
kepada Belanda.
Pada
tanggal 10 februari 1821, Residen Do Puy beserta Tuanku Suruaso (pemerintah
dari Belanda) dan 14 penghulu yang mewakili Minangkabau mengadakan perjanjian.
Dengan dasar perjanjian ini maka beberapa daerah di Minangkabau diduduki
Belanda. Langkah Belanda tidak semata-mata ditujukan untuk melawan kaum Padri
akan tetapi lebih banyak ditujukan untuk menanamkan kekuasaannya. Pada tanggal
18 Februari 1821, Belanda menduduki Simawang dengan membawa dua meriam dan 100
orang tentara. Sejak itu dimulailah perang padri melawan Belanda. Peranan kaum
adat sebagai musuh utama kaum padri digantikan oleh Belanda. Kaum padri
menghadap Belanda yang mempunyai sistem persenjataan yang modern serta personel
yang terlatih.
Peperangan ini dapat dibagi dalam tiga masa. Masa pertama
berlangsung antara 1821-1825, ditandai dengan meluasnya perlawanan rakyat ke
seluruh daerah Minangkabau. Masa kedua antara
tahun 1825-1830, ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil
mengadakan perjanjian dengan gerakan kaum padri yang mulai melemah. Ketika itu
pihak Belanda sedang memusatkan perhatiannya pada perang Diponegoro di Jawa.
Masa ketigaantara tahun 1830-1838, ditandai dengan
perlawanan padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran.
Kemudian diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin padri.
Kaum Padri mulai bergerak menyerang pos-pos Belanda dan melakukan
pencegatan terhadap pasukan patroli mereka. Pos Belanda di Semarang menjadi
sasaran penyerangan kaum Padri dalam bulan September 1821 M.[19]
Baru pada
akhir tahun 1834 Belanda dapat memusatkan kekuatannya untuk menyerang Bonjol.
Setelah jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai dikuasai
oleh Belanda. Pada akhir september 1834 pasukan Belanda menyiapkan
pasukan besar untuk mulai menyerang Bonjol. Pada tanggal 11 Mei 1835 Benteng
Padri di sebuah bukit dekat Bonjol juga telah diduduki pasukan Belanda.
Pada
tanggal 10 Agustus 1837 Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia lagi untuk
mengadakan perundingan perdamaian. Tetapi perundingan perdamaian itu gagal.
Sehingga menyebabkan timbulnya lagi pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837.
Dalam
pertempuran bulan Oktober 1837 pengepungan dilakukan oleh pasukan-pasukan
Belanda di luar Benteng Bonjol. Tembak-menembak terjadi antara pasukan Belanda
di luar benteng dan pasukan padri di dalam benteng. Akhirnya benteng Bonjol
yang dipatahkan oleh kaum padri dengan sekuat tenaga dapat dimasuki oleh pasukan
Belanda. Penyerahan Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya terjadi pada tanggal
25 Oktober 1837 dan merupakan pukulan berat bagi penawanan kaum padri pada
umumnya. Kaum padri terpaksa meninggalkan Bonjol untuk meneruskan perang di
hutan-hutan.
Tuanku Imam Bonjol kemudian di buang ke Cianjur, Jawa Barat pada
tanggal 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon pada tahun 1841 dipindahkan ke Menado,
dan meninggal disana pada tanggal 6 Nopember 1864.[20]
2)
Perang Diponegoro
Perang
melawan penjajahan di Jawa Tengah dan Timur yang berlangsung antara tahun 1825
sampai dengan 1830, disebut juga perang Diponegoro atau Perang Jawa, karena
meletus di hampir seluruh daerah di Jawa. Perjuangan ini ditujukan pada
kekuasaan asing, yaitu penguasa Hindia Belanda yang selalu ikut campur dalam
urusan pemerintahan Yogyakarta. Yang menjadi pemimpin peperangan ini adalah
Putra Sultan Hamengku Buwono III dari selirnya yang bernama Pangeran
Diponegoro.
Makin
meluasnya pengaruh Belanda dalam urusan tata pemerintahan Mataram, sebenarnya
tidak terlepas dari faktor intern dalam negara Mataram sendiri, yaitu adanya
gejala pertentangan antar bangsawan. Kericuhan istana, perebutan tahta,
perang antara bangsawan merupakan gejala kronis dalam sejarah negara Mataram
sampai abad ke-18.
Sementara
itu, gejala baru yang timbul sebagai akibat hubungan dengan kekuasaan itu,
ialah makin meluasnya peredaran minuman keras baik dikalangan bangsawan maupun
rakyat umum. Gejala umum ini oleh golongan agama dalam istana dianggap
membahayakan kehidupan agama Islam. Golongan bangsawan yang taat menjalankan
syariat agama, diantaranya termasuk Pangeran Diponegoro, menyaksikan gejala
tersebut dengan kekhawatiran.
Kekecewaan terhadap pemerintah kerajaan, yang dalam bidang politik
banyak banyak dipengaruhi oleh Belanda, adalah sebab utama mengapa Diponegoro
lebih banyak tinggal di Tegalrejo dari pada di istana. Di tempat ini ia lebih
memusatkan perhatian pada soal-soal agama, pengetahuan tentang adat, sejarah
maupun hal-hal yang mengenai kerokhanian[21].
Pangeran Diponegoro menggariskan maksud dan tujuan perlawanan
terhadap Belanda, para pejabat dan agen Belanda; pertama, untuk mencapai cita-cita luhur mendirikan
masyarakat yang bersendikan agama Islam. Kedua, mengembalikan
keluhuran adat jawa, yang bersih dari pengaruh barat. Tekat yang luhur itu
memantapkan hati para pengikutnya untuk memulai peperangan besar melawan
Belanda.
Pada
tahun 1826, jalan perang menunjukkan pasang surut. Banyak korban berguguran di
pihak Belanda. Tahun 1827, Belanda memperkuat diri dengan melakukan benteng
stelsel untuk mempersempit gerak tentara Pangeran Diponegara. Belanda juga
mengerahkan bantuan dari negeri Belanda sekitar 3000 orang.
Pada waktu merayakan idul fitri 28 maret 1830, Pangeran Diponegoro
diundang ke rumah Residen untuk melanjutkan perundingan. Dalam perundingan
tersebut Pangeran Diponegoro menuntut agar diberi kebebasan untuk mendirikan
negara yang merdeka yang bersendikan Islam. Akhirnya Ia ditawan karena tetap
mempertahankan tuntutannya, kemudian di buang ke Manado pada 3 mei 1830. Pada
tahun 1834 Ia dipindahkan ke Ujung Pandang, Makassar. Di pengasingan terakhir
inilah ia meninggal dunia pada tanggal 8 januari 1855 dalam usia kurang lebih
70 tahun. [22]Walaupun
perang besar ini berakhir dengan kekalahan, tetapi peran politik ulama’ telah
menjadi pelajaran politik umat islam indonesia. Penggalangan atas nama Islam
telah memupuk cinta tanah air dan anti kolonial. Nilai “perang sabil” yang
dicanangkan oleh para ulama’ selalu menjadi landasan yang kuat dalam
ketahanan umat untuk mengusir dan melawan kolonial.[23]
3)
Perang Banjarmasin
Perlawanan yang terjadi di Kalimantan Selatan, di wilayah Kerajaan
Banjar berlangsung hampir setengah abad lamanya. Perang Banjar berlangsung
antara tahun 1854-1864 M, berawal dari ketidaksenangan rakyat Banjar terhadap
tindakan campur tangan pemerintah kolonial dalam urusan intern kerajaan.
Ketidaksenangan itu memuncak saat pemerintah mengakui Pangeran Tamjidillah
sebagai Sultan Banjar. Sultan baru itu tidak disenangi rakyat.[24] Di
kalangan rakyat terpendam rasa tidak senang karena persoalan pajak.
Selain pajak, rakyat juga dikenakan kerja-wajib untuk kepentingan golongan yang
berkuasa. Ketidaksenangan itu juga disebabkan karena Pangeran Tamjidillah
adalah anak Sultan Muda dengan Nyai Aminah. Ia amat dibenci baik oleh golongan
kraton maupun rakyat. Kebiasaan mabuk menyebabkan ia dimusuhi oleh golongan
agama.[25] Dan
juga menimbulkan kekecewaan di kalangan rakyat dan para pembesar lainnya.
Akibatnya timbul kericuhan di dalam wilayah Kerajaan Banjarmasin. Melihat
kericuhan yang terjadi, Belanda kembali memasuki persoalan politik untuk mengambil
keuntungan yang lebih besar. Colonel Andresen sengaja didatangkan dari Batavia
(Jakarta) untuk meneliti persoalan dari dekat. Andresen berkesimpulan bahwa
Pangeran Tamjid adalah sumber kericuhan tersebut. Ia kemudian diturunkan dari
tahta dan kekuasaannya diambil alih oleh Belanda.[26]
Pengambilalihan
kekuasaan itu mengalihkan penentangan rakyat yang semua diarahkan kepada sultan
Tamjidillah, kini ditunjukan kepada pemerintahan kolonial Belanda. Ketika
itulah perang Banjarmasin dianggap dimulai. Perlawanan rakyat terhadap Belanda
berkobar di daerah-daerah yang di pimpin oleh Pangeran Antasari yang berhasil
menghimpun pasukan sebanyak 3600 orangyang menyerbu pos-pos Belanda. Ia di
dukung oleh pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Pangeran Hidayat sendiri
berbelot kepada Pangeran Antasari untuk bersama-sama berperang melawan Belanda.
Dalam
pertempuran tersebut banyak pasukan Belanda yang tewas. Gerakan cepat yang
dilakukan Antasari sangat menyulitkan pasukan Belanda. Namun akhirnya beberapa
pembesar kerajaan yang melawan Belanda satu demi satu dapat dikalahkan atau
menyerah. Pangeran Hidayat sendiri tertangkap dan di buang ke Jawa.
Sebelas
hari setelah pembuangan Pangeran Hidayat, pada tanggal 14 Maret 1862, Pangeran
Antasari memproklamasikan suatu pemerintahan kerajaan Banjarmasin yang bebas
dan merdeka, pengganti kerajaan Banjatmasin yang dirampas Belanda. Ketika itu
diumumkan pengangkatan raja baru yaitu Pangeran Antasari sendiri, dengan gelar
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Ibu kota sementara di tetapkan di
Teweh, yang ketika itu merupakan markas besar perjuangan melawan Belanda.
Akan tetapi, tujuh bulan setelah proklamasi Pangeran Antasari
jatuh sakit dan pada tanggal 11 oktober 1862, ia wafat di Hulu Teweh. Kemudian
ia di gantikan oleh anaknya, Pangeran Muhammad Seman. Perlawanan terus
berlangsung sampai tahun 1905, ketika raja ini terbunuh sebagai syahid dalam
medan pertempuran.[27]
4)
Perang Aceh
Perang
Aceh berlangsung selama 31 tahun, antara tahun 1837-1904. Belanda memang
membutuhkan waktu lama untuk memadamkan perang itu, mengingat perang ini
melibatkan seluruh rakyat Aceh.
Diantara
perlawanan-perlawanan besar yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia dalam
abad ke-19, perlawanan di Aceh termasuk yang paling berat dan terlama bagi
Belanda.
Pada tanggal 17 maret 1824, sebuah persetujuan antara Inggris dan
Belanda mengenai pembagian wilayah jajahan di Indonesia dan Semenanjung Malaya
di tandatangani. Isinya antara lain, bahwa setelah memperoleh kembali jajahan
yang selama perang direbut oleh Inggris, Belanda tidak dibenarkan mengganggu
kemerdekaan negara Aceh. Aceh tetap merdeka dan bebas menjalankan politik dalam
berkembang. Tampaknya jaminan untuk mempertahankan kemerdekaan Aceh hanyalah
bersifat politik saja.[28] Dorongan
untuk menguasai Aceh semakin kuat sejak di bukanya Terusan Suez. Satelah
Terusan Suez di buka pelabuhan Aceh menjadi sangat strategis karena berada
dalam urat nadi pelayaran internasional. Sementara itu, imperialisme dan
kapitalisme memuncak dan negara-negara barat berlomba-lomba mencari daerah
jajahan baru [29]
Pada
tanggal 30 Maret 1857 ditandatanganilah kontrak antara Aceh dan Hindia Belanda.
Dicantum di dalamnya kebebasan perdagangan dan larangan perdagangan budak
dan perampokan.
Pada
tanggal 2 November 1871, Inggris dan Belanda bersepakat menandatangani Traktat
Sumatra. Berdasarkan perjanjian tersebut pihak Belanda diberi kebebasan
memperluas daerah kekuasaannya di Aceh. Sedang Inggris mendapat kebebasan
berdagang di daerah Siak.
Traktat itu memberi keluasaan kepada Belanda untuk meneruskan
agresinya. Diplomasi Aceh untuk melawannya, antara lain lewat hubungan dengan
wakil Itali dan Amerika serikat, tidak berhasil. Setelah ultimatum tidak
ditanggapi, pemakluman terhadap Aceh dinyatakan pada tanggal 26 Maret 1873.[30]
Itulah
awal perang Aceh yang menurut waktu dan ruang tidak ada taranya dalam sejarah
perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Perang ini disebut juga perang rakyat,
karena seluruh rakyat Aceh terlibat secara aktif melawan kolonial. Pejuang aceh
dipersenjatai oleh ideologi perang sabil sepanjang berlangsungnya perang yang
jelas mempersulit belanda.
Pada
tanggal 5 April 1873, tentara Belanda mendarat dengan kekuatan sekitar 3000
personil. Dalam serangan pertama itu, masjid diserang dan dapat diduduki
tentara Belanda, tetapi segera direbut kembali oleh pasukan Aceh. Karena
kuatnya tentara Aceh, pasukan Belanda ditarik untuk menunggu bala bantuan di
Batavia. Bulan November tahun itu juga, Belanda mengirikm ekspedisi kedua
dengan kekuatan sekitar 13.000 prajurit. Kali ini dengan mudah Belanda
menduduki masjid dan keraton, karena sultan dan penghuninya sudah
mengungsi. Jatuhnya keraton tidak melunturkan semangat juang rakyat Aceh.
Tidak
lama setelah itu, pada 1874, Sultan meninggal dunia karena penyakit kolera dan
para pengikutnya mengungsi lebih jauh lagi. Belanda berusaha mengadakan
perundingan, tetapi tidak ditanggapi oleh pihak Aceh. Belanda kemudian memakai
strategi menunggu dan menjalankan sistem pasifikasi. Dengan sistem ini, Belanda
berusaha menguasai dan mengamankan lembah Sungai Aceh dan Aceh besar. Mereka
mendirikan benteng-benteng sebagai pos untuk mengawasi daerah sekitarnya.
Pos-pos
pengawasan itu terus-menerus mendapat serangan dari tentara Aceh yang mulai
terorganisasi. Di samping itu, di sekitar pos-pos tersebut berjangkit penyakit
kolera. Akhirnya hubungan antarpos tersebut dapat ditembus dan diputus oleh
tentara Aceh pada tahun 1877. Setelah itu, belanda melakukan ofensif dengan
mengirim ekspedisi ke Mukim XXII, tempat Panglima Polim memimpin perlawanan.
Panglima Polim terpaksa mengungsi dan daerah- daerah sekitar Aceh Besar jatuh
ketangan Belanda.
Gerakan pelawanan masih terus berlangsung, walaupun pengganti
sultan belum ditunjuk dan keraton telah diduduki Belanda. Perlawanan masih
perpusat di daerah sultan, karena putra mahkota, Muhammad Daud, tetap berperan
sebagai pusat dan pemimpin perang. Dia baru dinobatkan sebagai sultan
pada tahun 1884.[31]
Dalam tahun itu juga Belanda mulai melaksanakan sistem
konsentrasinya. Kotaraja sebagai pusatnya, dikelilingi benteng-benteng yang
terletak dalam setengah lingkaran serta berjarak 5-6 km dari kota itu. Dibuat
jalan untuk saling berhubungan, kemudian benteng-benteng itu dihubungkan dengan
term. Di bagian luar benteng, hutan dan semak belukar ditebang, sehingga ada
tanah lapang selebar 1 km sebagai pengamanan terhadap penyelundupan pasukan
Aceh. Selama pembangunan benteng-benteng itu banyak korban yang jatuh karena
serbuan dari pihak Aceh. Strategi berdasarkan sistem konsentrasi ternyata
memberi peluang luas kepada pejuang Aceh untuk menggalakkan perang gerilya,
maka serangan dapat dilancarkan sampai ke dalam kotanya dimana terjadi
banyak pembunuhan.[32]
Perang Aceh yang sangat menguras perbendaharaan keuangan Belanda
ini menjadi dilematis. Biaya perang yang banyak dikeluarkan memaksa pemerintah
melakukan penghematan pada tahun 1884-1885. Namun, kebijakan ini menjadikan
wilayah-wilayah pedalaman kembali dalam kekuasaan pihak gerilyawan Aceh.
Belanda akhirnya menemukan cara pemecahan di dalam kebijakannya. Pemecahan ini
diajukan oleh Dr.C.snouck Hugronje (1857-1936) dan Johannes Benedictus Van
Heutsz (1851-1921).[33]
Pada
tahun 1890, Gubernur Deykerhoff berusaha mendekati kaum bangsawan atau
ulebalang. Dengan demikian, perlawanan kembali bergolak diseluruh Aceh besar.
Belanda kembali melakukan ofensif yang memaksa pihak Aceh bersikap defensif.
Setelah itu, Belanda melakukan pengejaran terhadap rombongan Sultan. Bahkan,
untuk memancing agar Sultan mau menyerahkan diri, Belanda melakukan
penyanderaan terhadap istri-istri dan putra sultan. Akhirnya,Sultan menyerah
pada 3 januari 1903. Taktik yang sama juga dilakukan terhadap Panglima Polim,
yang terpaksa menyerah pada 6 September 1903.
Meskipun Sultan tertawan dan Panglima Polim menyerah, peperangan
terus berlangsung, sampai Belanda meninggalkan indonesia tahun 1942. Antara
1903-1930-an, di daerah Pidie Aceh tengah dan tenggara, namun di Aceh Barat dan
Aceh timur masih sering muncul perlawanan sengit yang sebagian besar dipimpin
oleh para Ulama’. Bahkan, tahun 1942, kelompok-kelompok kecil pejuang Aceh
masih melakukan perlawanan.[34]
1. IV. KESIMPULAN
2. Sebelum datangnya bangsa-bangsa Barat kondisi dan situasi politik
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia berbeda, baik kemajuan politik, atau pun
proses islamisasi.
3. Perkembangan dan pertumbuhan Islam di Indonesia menyebabkan
berdirinya beberapa kerajaan Islam. Kemudian karena Indonesia kaya raya, maka
datanglah bangsa-bangsa barat, termasuk Belanda.
4. Penetrasi Belanda dalam dunia politik seringkali justru
diundang oleh konflik-konflik internal suatu kerajaan atau konflik antar
kerajaan di Indonesia. Kedatangan Snouck Hurgronje -seorang yang sangat ahli
tentang Islam- membuat sebuah teori yang di sebut dengan “Islam politik” dengan
dalih “asosiasi”.
5. Penjajahan Belanda terhadap Bangsa Indonesia mendapat perlawanan
sengit dari Bangsa Indonesia pada umumnya. Mereka mengadakan perlawanan
terhadap penjajah Belanda karena merasa dijajah dan diperlakukan semena-mena.
Perlawanan-perlawanan tersebut diantaranya: Perang Padri, Perang Diponegoro,
Perang Banjar dan perang Aceh.
A. V. PENUTUP
Demikian
makalah ini kami buat, semoga dapat menambah ilmu dan wawasan bagi kita
semua. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun tetap diharapkan sebagai
acuan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Usairy, Ahmad, 2003, Sejarah Islam, cet.
1, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Amin, Samsul Munir, 2009, Sejarah Peradaban Islam, cet.
1, Jakarta: Amzah.
Huda, Nur, 2007, Islam Nusantara : Sejarah
Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Cet. 1, Yogyakarta :
Ar-Ruzz Media.
Kartodirdjo, Sartono, 1987, Pengantar Sejarah Indonesia
Baru: 1500-1900, jilid 1, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Noer, Deliar, 1985, Gerakan Moderen Islam di
Indonesia 1900-1942, Cet. 3, Jakarta: LP3ES.
Notosusanto, Nugroho, 1984, Sejarah
Nasional Indonesia, Jilid 4, Jakarta: PN Balai Pustaka.
Susanto, Musyrifah , 2005, Sejarah Peradaban Islam
Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syukur, Fatah, 2009, Sejarah Peradaban Islam,
Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Thohir, Ajid, 2004, Perkembangan Peradaban di
Kawasan Dunia Islam, Cet. 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Yatim, Badri, 2008, Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
[1] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, cet. 1 (Jakarta: Amzah,
2009), hlm. 374-375
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 231
[3] Nur Huda, Islam Nusantara : Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, cet.1,
(Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 67
[4] Ahmad Al-
Usairy, Sejarah Islam, cet. 1, (Jakarta: Akbar Media Eka
Sarana, 2003), hlm. 449-450
[5] Badri Yatim, 2008, hlm. 232
[6] Badri Yatim, 2008, hlm. 233-234
[7] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009), hlm. 214
[8] Sartono
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, jilid
1, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1987), hlm. 70-71
[9] Samsul Munir Amin,
2009, hlm. 378
[10] Badri
Yatim, 2008, hlm. 235-236
[11] Fatah
Syukur, 2009, hlm. 216-217
[12] Samsul
Munir Amin, 2009, hlm. 384
[13] Nur
Huda, 2007, hlm. 99-100
[14] Deliar
Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,cet.3 (Jakarta:
LP3ES, 1985), hlm.182
[15] Ajid
Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Cet.
1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 298
[16] Samsul
Munir Amin, 2009, hlm. 388-389
[17] Nugroho
Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid
4 (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 167-169
[18] Badri
Yatim, 2008,hlm. 242
[19] Nugroho
Notosusanto, 1984, hlm. 167-173
[20]Nugroho
Notosusanto, 1984, hlm. 181-184
[21]Nugroho
Notosusanto, 1984, hlm. 193
[22] Samsul
Munir Amin, 2009, hlm. 393-395
[23] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 30
[24] Samsul
Munir Amin, 2009, hlm. 400
[25] Nugroho
Notosusanto, 1984, hlm. 220-222
[26] Badri
yatim, 2008, hlm. 248
[27] Samsul
Munir Amin, 2009, hlm. 401
[28] Nugroho
Notosusanto, 1984, hlm. 241
[29] Samsul
Munir Amin, 2009, hlm. 395
[30] Sartono
Kartodirdjo, 1987,hlm. 385-386
[31] Badri
Yatim, 2008, hlm. 250-251
[32] Sartono
Kartodirdjo, 1987,hlm. 388
[33] Nur
Huda, 2007, hlm. 95
[34] Badri
Yatim, 2008,hlm. 251-252