Advertise


Kode Iklan Anda Disini

Jumat, 30 Mei 2014

ORIENTALIS DAN SEJARAH INDONESIA

0 komentar

ORIENTALIS DAN SEJARAH INDONESIA
Oktober 12, 2012
Sejarah membuktikan, penjajah Belanda datang ke Indonesia bukan hanya mengeksploitasi kekayaan alam. Tapi, mereka juga berharap bisa menghilangkan pengaruh Islam terhadap bangsa Indonesia. Bersama para orientalisnya, kaum kolonial Belanda berusaha memperkecil arti dan peran Islam dalam sejarah Melayu-Indonesia. Dalam bukunya Nederland en de Islam(hlm. 1), tokoh orientalis Belanda, Christian Snouck Hurgronje mengatakan bahwa Islam baru masuk ke kepulauan Indonesia pada abad XIII setelah mencapai evolusinya yang lengkap. Snouck Hurgronje juga menyatakan dalam bukunya, Arabie en Oost Indie (hlm. 22), bahwa orang Islam di Indonesia sebenarnya hanya tampaknya saja memeluk Islam dan hanya di permukaan kehidupan mereka ditutupi agama ini. Ibarat berselimutkan kain dengan lubang-lubang besar, tampak keaslian sebenarnya, yang bukan Islam. Orientalis lain, J.C. Van Leur, bahkan menyimpulkan bahwa Islam tidak membawa perubahan mendasar sedikit pun di kepulauan Melayu-Indonesia dan tidak juga perabadan yang lebih luhur daripada peradaban yang sudah ada.
Benarkah Islam hanya merupakan penampilan luar dan tidak membawa perubahan mendasar bagi masyarakat Melayu-Indonesia? Snouck Hurgronje datang ke Indonesia pada 1889 di saat umat Islam Indonesia memasuki masa transisi. Akhir abad XIX mulai terjadi kebangkitan agama di kalangan umat Islam. Ketakutan Pemerintah Hindia Belanda terhadap kebangkitan Islam melatarbelakangi pengangkatan Snouck Hurgronje sebagai penasihat pemerintah untuk urusan pribumi dan Islam. Proses Islamisasi di kepulauan Melayu-Indonesia, menurut pakar sejarah Melayu, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, mengalami kemunduruan sejak datangnya kolonialisme Barat. Sebagaimana orientalis lainnya, Snouck Hurgronje menilai umat Islam dari praktek-praktek mereka pada saat kemunduran itu, sehingga memberikan pemahaman keliru tentang Islam.

Di mana Islam?
Penggambaran kurang tepat tentang peradaban Islam dalam sejarah Indonesia juga bisa dijumpai pada sejumlah penulis Kristen, seperti T.B. Simatupang dan Eka Darmaputera. Dalam bukunya, Iman Kristen dan Pancasila (hlm. 11), ia menjelaskan, bahwa Indonesia tidak pernah mengalami sebuah kerajaan Islam yang mencakup seluruh Indonesia, seperti di zaman Mogul di India. Menurutnya, Kerajaan Sriwijaya yang Budha dan Majapahit yang Hindu, pernah mempersatukan sebagian besar wilayah Nusantara. “Tetapi, tidak pernah ada jaman Islam dalam arti kerajaan yang mencakup seluruh negeri,” tulis TB Simatupang. Begitulah, lanjutnya, dalam arti tertentu, yang menggantikan Majapahit adalah pemerintahan kolonial Belanda dan yang menggantikan yang terakhir tersebut adalah pemerintahan Republik Indonesia.
Tokoh Kristen lain, Eka Darmaputera, dalam bukunya, Pancasila: Identitas dan Modernitas(1997:41), juga membuat paparan yang kurang tepat tentang sejarah peradaban Islam di Indonesia. Ia mengakui, dibandingkan dengan kebudayaan asli dan Hindu, Islam jauh lebih berhasil menanamkan pengaruhnya pada seluruh lapisan masyarakat. Ia berhasil mencapai rakyat biasa dan menjadi agama dari mayoritas penduduk Indonesia. Namun demikian, ia tidak menciptakan suatu peradaban baru. Sebaliknya, dalam arti tertentu, ia harus menyesuaikan diri dengan peradaban yang telah ada, tulis Eka Darmaputera. Bahkan, untuk mendukung asumsinya tersebut, Eka menunjuk contoh Sunan Kalijaga, yang meskipun sempat memeluk agama Islam, tetapi tetap menjadi Jawa, dan tidak menjadi Hindu atau Islam. Eka menulis, “Ia adalah seorang Hindu, bangsawan Majapahit, tetapi toh bukan itu, sebab Majapahit adalah masa lampaunya. Ia adalah seorang Islam, menjadi Islam di pusat peradaban Islam yang tengah menyingsing pada waktu itu, Demak. Tetapi toh tidak seluruhnya, sebab akhirnya Demak pun ia tinggalkan, bahkan ia memainkan peranan yang penting dalam kekalahannya. Ia pada akhirnya adalah seorang Jawa, yang merangkul semua, tanpa pernah sepenuhnya menjadi salah satu. Di Mataram lah –sebuah Kerajaan Jawa, yang tidak sepenuhnya Hindu maupun Islam— ia memainkan peranannya yang terpenting di dalam mengislamkan Jawa.” (hlm. 34).
Tentu saja, cerita Eka Darmaputera tentang Sunan Kalijaga tersebut sulit dilacak kebenarannya. K.H. Saifuddin Zuhri, tokoh NU, dalam salah satu tulisannya tentang Wali Songo memberikan gambaran tentang Sunan Kalijaga yang jauh berbeda dengan gambaran Eka Darmaputera. Sunan Kalijaga adalah seorang yang sangat aktif berdakwah, yang seluruh hidupnya di abdikan hanya untuk menyiarkan Islam. (Lihat, KH Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan Islam di Indonesia, 1981:310-329). Sebuah kisah populer di Jawa –yang banyak dirujuk oleh para sejarawan dalam melihat sejarah Islam, Majapahit, dan para wali adalah Serat Darmagandul.
Buku Darmagandul ini penuh dengan caci maki terhadap Islam dan Wali Songo. Di sisi lain, pengarang Darmagandul (yang tetap misterius sampai sekarang) sejak awal memiliki itikad untuk menampilkan agama Kristen (Nasrani) lebih memiliki keunggulan dibandingkan Islam. Buku ini juga secara sistematis menanamkan kebencian orang Jawa terhadap Islam. Misalnya ditulis:“Wong Djawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam bendjing, aganti agama kawruh, ….(Artinya: Orang Jawa ganti agama, besok banyak yang meninggalkan Islam, berganti (menganut) agama kawruh …). (Lihat, Anonim. Darmagandul. Cetakan IV. (Kediri: Penerbit Tan Khoen Swie, 1955). Juga, ungkapan Darmagandul“Kitab Arab djaman wektu niki, sampun mboten kanggo, resah sija adil lan kukume, ingkang kangge mutusi prakawis, kitabe Djeng Nabi, Isa Rahullahu.” (Artinya: Kitab Arab jaman waktu ini, sudah tidak terpakai, hukumnya meresahkan dan tidak adil, yang digunakan untuk memutusi perkara adalah kitab Kanjeng Nabi Isa Rahullah). Cerita-cerita dalam Darmagandul yang menyudutkan Islam dan mengadu domba antara Islam dengan Jawa ini memiliki banyak kesamaan cerita dengan Babad Kadhiri yang diakui penulisnya ditulis atas permintaan pemerintah kolonial Belanda.
Penulisan sejarah sangat tergantung pada perspektif penulisnya. Simaklah sejarah Kerajaan Majapahit. Sekali-kali perlu dipertanyakan, benarkah sejarah telah membuktikan bahwa Majapahit pernah menguasai seluruh wilayah Nusantara? Prof. Dr. C.C. Berg melalui tulisan-tulisannya telah mengungkapkan, bahwa wilayah Majapahit hanya meliputi wilayah Jawa Timur, Bali, dan Madura. Masuknya wilayah-wilayah lain di Nusantara, hanya merupakan cita-cita, dan tidak pernah masuk ke dalam wilayah Majapahit. (Lihat, Hasan Djafar, Masa Akhir Majapahit, 2009: 47-48). Ada juga cerita yang memposisikan Majapahit sebagai “penjajah”, sehingga muncul perlawanan dari wilayah yang ditaklukkan. Babad Soengenep, misalnya, menceritakan bagaimana proses penaklukan Majapahit atas Soengenep yang berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Jaran Panole dalam melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada. Juga cerita yang mendasari Perang Bubat yang merupakan kesalah an besar dalam diplomasi Majapahit. (Terkait dengan perang Bubat lihat H. J. Van Den Berg, et all, Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia Jilid I: India, Tiongkok, dan Djepang, Indonesia. Cetakan II. (Jakarta ¨C Groningen: J. B.Wolters, 1952).

Islam: Jati Diri Bangsa
Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib Al-Attas menolak keras teori para sarjana Barat yang menganggap kehadiran Islam di wilayah Melayu-Indonesia ini tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Ia menulis, “Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan ke hinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka.” (Lihat, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1990:41).
Al-Attas juga menekankan kekeliruan hasil penelitian ilmiah Barat yang meletakkan serta mengukuhkan kedaulatan kebudayaan dan peradaban Jawa sebagai titik tolak permulaan kesejarahan Kepulauan Melayu-Indonesia. “Anggapan seperti inilah hingga dewasa ini masih merajalela tanpa gugatan dalam pemikiran kesejarahan kita.” (ibid, hlm. 40-41).
Al-Attas bahkan menyebutkan, kedatangan Islam di wilayah Nusantara merupakan peristiwa paling penting dalam sejarah kepulauan Melayu-Indonesia. M.C. Ricklefs dalam bukunya, A History of Modern Indonesia, memulai penulisan sejarah Indonesia modern dengan kedatangan Islam. Islam, tulisnya, membawa banyak perubahan penting dan mendasar dalam masyarakat kepulauan Melayu-Indonesia.
Menurut Al-Attas dalam Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malaysia Indonesian Archipelago, Islam datang ke kepulauan Melayu-Indonesia membawa semangat religius yang amat intelektual dan rasionalistis, sehingga mudah masuk ke dalam pikiran rakyat. Ini menyebabkan kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme yang tidak dinyatakan dalam masa-masa pra-Islam. Timbulnya rasionalisme dan intelektualisme ini dapat dipandang sebagai semangat yang kuat yang menggerakkan proses revolusi dalam pandangan dunia Melayu-Indonesia, dan mengelakkannya dari dunia mitologi yang rontok. Semangat rasionalisme dan intelektualisme ini bukan saja di kalangan istana dan keraton, bahkan juga merebak di kalangan rakyat jelata. Banyak risalah tentang falsafah dan metafisika khusus ditulis bagi keperluan umum. (hlm. 5-6)
Risalah-risalah yang dihasilkan oleh para ulama Melayu-Indonesia ditulis dengan huruf Arab meski tidak selalu berbahasa Arab. Bahasa bisa saja Jawa atau Melayu, tetapi hurufnya Arab. Tulisan semacam itu disebut dengan tulisan Arab pegon. Menulis dengan huruf Arab telah menjadi tradisi umat Islam di kepulauan Melayu-Indonesia jauh hari sebelum mereka mengenal tulisan latin yang dibawa oleh kolonialis Barat.
Peristiwa penting lain yang secara langsung digerakkan oleh proses sejarah kebudayaan Islam, menurut Al-Attas, adalah penyebaran bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, bukan saja dalam kesusastraan epik dan roman, akan tetapi –lebih penting— dalam pembicaraan falsafah. Bahasa Melayu mengalami suatu perubahan revolusioner; di samping pengayaan sebagian besar perbendaharaan kata-katanya yang berasal dari kata-kata Arab dan Persia. Bahasa itu menjadi media utama untuk membawakan Islam ke seluruh kepulauan sehingga pada abad XVI, selambat-lambatnya, telah mencapai kedudukan sebagai bahasa religius dan kesusasteraan menggantikan hegemoni bahasa Jawa. Kesusasteraan Melayu berkembang dalam periode Islam. Abad XVI dan XVII menyaksikan berlimpahnya tulisan Melayu mengenai mistisisme filosofis dan teologi rasional yang tidak tertandingi. Terjemahan Al-Quran yang pertama ke dalam bahasa Melayu dengan tafsiran yang didasarkan atas tafsiran termasyhur dari Al-Baidhawi, dan terjemahan-terjemahan, tafsiran-tafsiran dan karya-karya asli mengenai mistisisme filosofis dan teologi rasional juga muncul selama periode ini yang menandai kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme yang tidak dimanifestasikan di mana pun sebelumnya di kepulauan. (hlm. 27)
Bahasa Melayu kemudian menjadi bahasa Islam dan berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Untuk menghilangkan pengaruh Islam, sampai-sampai beberapa sekolah di Jawa yang didirikan oleh misionaris pada awal abad XX menghindari penggunaan bahasa Melayu sejauh mungkin. Imam Yesuit Frans van Lith, pendiri sekolah Muntilan berpendapat, ”Dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda) adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.” Penolakan terhadap bahasa Melayu menjadi kebijakan tetap misi Yesuit di Jawa Tengah. Salah satu alasannya, khawatir promosi bahasa Melayu akan menyiratkan dukungan terhadap agama Islam.
Pengaruh Islam yang sangat besar dalam sejarah Melayu-Indonesia merupakan fakta keras (hard fact) yang tidak bisa dipungkiri. Pengaruh itulah yang selama berabad-abad dicoba dihilangkan oleh kolonialis dan orientalis Belanda. Wajar, jika penjajah melakukan rekayasa sejarah. Tentu, kemudian, tergantung umat Islam sendiri –apapun suku bangsanya– apakah mau sadar atau tidak, bahwa mereka adalah MUSLIM!
Politik Islam Pemerintahan Hindia Belanda yang dimaksudkan di sini adalah kebijaksanaan pemerintahan Hindia Belanda dalam mengelola masalah-masalah Islam di Indonesia pada masa kolonial. Kedatangan Islam di Nusantara membuat pengaruh besar terhadap kehidupan sosial. Politik dan Ekonomi. Peduduk lokal yang awalnya menganut agama Hindu Budha berbondong-bondong menganut agama islam karena diajaran Islam tidak ada kasta-kasta yang memilah-milah kesempatan umatnya, karena semua dihadapan Allah itu sama kecuali ketakwaannya. Tidak hanya kaum pedagang dan golongan rendah saja yang menganut islam, namun kaum menengah atas bahkan para Aristokrat dan petinggi kerajaan ikut memeluk islam, dengan tujuan untuk membendung pengaruh barat yang juga membawa ajaran agama kristen serta menjegah bangsa-bangsa barat untuk memonopoli perdagangan di Nusantara yang sebelumnya banyak pedagang dari Arab.Sejak didirikannya VOC bangsa Belanda selalu ingin ikut campur dalam urusan Kerajaan. Mereka ingin memonopoli perdagangan di Indonesia dengan memanfaatkan situasi intern suatu kerajaan.

Islam bukan saja sebuah agama namun beda tipis dengan sebuah politik. Menganut Islam berarti memerangi penguasa-penguasi kristen dan bangsa asing. Namun terkadang kekuasaan membuat seseorang lupa diri, meskipun banyak kaum ningrat memeluk islam, tpi mereka tetep bekerja sama dengan belanda untuk menindas para petani. Para kaum ini sangat berhati-hati dalm menyembintukan identitas keagamaanya. mereka juga disebut sebagai islam sekuler.

Pada sekitar abad 19, orang-orang belanda mengirimkan misionarisnya untuk berdakwah di Indonesia. Misionaris-misionaris ini dibatu dana dari negara belanda. Meskipun dapat dukungan penuh dari pemerintahan namun agama ini hanya berkembang sejara pelan-pelan dan wilayahnya hanya di Daerah-daerah yang belum terjamah oleh agama islam. Bagi Belanda Islam adalah ancaman, karena itu Belanda melarang Haji pada umat islam. Namun mengakibatkan banyak sekali pemberontakan-pemberontakan dikalangan umat islam.

Kemudia Belanda mengirim Sosok Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) ahli bahasa Arsb dan Islam. Bagi Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia sarjana yang berhasil. Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding. Namun, penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik.
Haris Haryadi
Tahun 1889 Snouck Hurgronje[1] berangkat ke Hindia Belanda, untuk masa 2 tahun, mempelajari agama Islam di Indonesia. Atas laporan-laporannya yang baik mengenai alam pikiran orang Jawa dan Islam di Jawa tahun 1891 ia mendapat jabatan penasehat untuk bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam. Tahun itu bulan Juni ia berangkat ke Aceh, dan kurang setahun kemudian kembali di Batavia. Setelah dari Aceh ia menulis De Atjehers (2 jilid, 1893-4). “Karya itu merupakan penerobosan, baik karena artinya untuk pengetahuan tentang Islam di Hindia Belanda, maupun karena pembahasan bangsa Aceh sampai ke sumsum kehidupannya. Pembahasan itu memberi landasan untuk pasifikasi di kemudian hari. Keakraban Snouck dengan Aceh dan bahasa Aceh bermula di Mekah, di mana rumah yang ditempatinya terletak di seberang “hotel” orang Aceh, yang dikunjunginya setiap hari,” kata Wensink.
Pada tahun-tahun selanjutnya ia secara bergantian berada di Batavia dan di Aceh.
Tahun 1906 Snouck mengajukan permohonan cuti ke Eropa yang dikabulkan, karena ia membutuhkan waktu istirahat. Baru samapai di Belanda ia ditawari jabatan guru besar bahasa Arab di Leiden, dan ia menerima jabatan itu.  Tahun 1913 ia memberikan serangkaian ceramah tentang Islam atas undangan American Committee for Lectures on the History of Religions.
Antara tahun 1920-1922 Snouck sibuk menjalankan tugas sebagai sekretaris Senat dan Rektor Universitas di Leiden, dan dalam pengukuhannya ia berpidato dengan judul “De Islam en het rassenprobleem” (Islam dan masalah rasialisme). Dan pada tahun 1927, pada saat ulang tahunnya ia mendapat hadiah sejumlah uang dari kawan-kawannya. Uang itu ia gunakan membangun Lembaga Ketimuran (Oostersch Instituut).

‘Politik Islam’ Hindia Belanda
Snouck menangani masalah kebijaksanaan politik pemerintah Hindia Belanda tentang Islam pada masa kolonialisme. Untuk mempertahankan kekuasaannya pemerintah Hindia Belanda melakukan berbagai cara, di antaranya ide politik Islam dari tokoh kolonialis-orientalis Snouck Hurgronje. Ia banyak meneliti tentang penduduk pribumi dan setelah ia berpengalaman di Timur Tengah,  ia memberikan nasehat-nasehat terhadap pemerintah Hindia Belanda  untuk menangani pribumi dan terutama Aceh.
Yang semula penjajah selalu berdasar rasa takut dan tidak ikut campur dalam melihat Islam. Dengan penerapan Politik Islam di mana  Snouck Hurgronje sebagai peletak dasar, maka pemerintah Hindia Belanda memiliki pola bagaimana menangani Islam. Terhadap urusan ibadah pemerintah kolonial bersikap netral, namun dalam masalah politik umat Islam harus dijaga dan dijauhkan. Para penasehat bekerja di Kantoor voor Inlandsche zaken yang bertugas memberikan nasehat kepada Gubernur Jenderal urusan pribumi.[2]
Snouck Hurgronje dan Islam
Peran Snouck dalam menyokong kolonialisme Belanda di Indonesia sangat besar. Untuk keperluan itu ia meneliti Islam Nusantara dan ia berusaha masuk ke pusat Islam, Makkah. Ia bermukim di sana, selama kurang lebih enam bulan, untuk mengumpulkan informasi mengenai kaum muslim Jawa di kota itu. Ia dibantu Sayyid Usman.
Mengapa Snouck berhasil masuk ke Makkah? Koningsveld mengungkapkan bahwa Snouck dengan keahliannya dapat mengecoh ulama-ulama Makkah, bahwa ia seorang muslim, dengan nama samaran Abdul Gaffar. Hasil penelitiannya itu, dan di Aceh kemudian, ia gunakan untuk bahan nasehat-nasehat tentang bagaimana menangani kaum muslimin kepada pemerintah Hindia Belanda.[3]

Polemik tentang Peran Snouck Hurgronje
Oleh generasi sesudah perang para tokoh yang memiliki peran penting dalam politik kolonial Belanda disorot, di antaranya Snouck Hurgronje. Sarjana yang yang melancarkan kritik terhandap Snouck ialah PS. van Koningsveld. Ia seorang peneliti ahli dalam sejarah Islam pada Fakultas Theologis, Universitas Leiden, Belanda. Ia memberikan ceramahnya mengenai Snouck Hurgronje tentang perannya dalam politik kolonial, dengan mengajukan beberapa pertanyaan: 1) apakah tujuan SH pergi ke Makah untuk memperdalam pengetahuannya tentang Islam ataukah menjalankan tugas pemerintah kolonial serta menjalankan penelitiannya?; 2) apakah motivasi SH masuk agama Islam (dengan nama Abdul Gafur)?; 3) bagaimana pendirian SH terhadap Islam di Indonesia, melindungi atau memerangi?; 4) bagaimana sikap SH terhadap pribumi?
Dalam ceramahnya yang kemudian disiarkan Koningsveld mengatakan bahwa SH selama di Tanah Suci Makah untuk menyelidiki gerak-gerik para haji pribumi dari Hindia Belanda. Penyelidikannya itu membantu penyusunan laporannya mengenai Aceh, yang kemudian menjadi buku De Atjehers. Dalam jilid kedua dipersoalkan Koningsveld karena SH tidak mnyebutkan sumber datanya.
Ia didatangkan ke Hindia Belanda setelah terjadi pemberontakan di Cilegon, Banten (Juli 1888). Pendirian SH, kata Sartono Kartodirdjo, ada relevansinya dengan peristiwa itu. Di kalangan pemerintah Belanda sendiri penuh Islamo-phobia serta kiai-phobia.[4]
Menurut Koningsveld masuk Islamnya SH untuk tujuan memasuki kota Makah, untuk menyelidiki jamaah haji Hindia Belanda. Di samping tujuan itu, SH mengikuti cara Ignaz Goldziher yang mempelajari Islam dari dalam.[5]
Pandangan SH mengenai pribumi bahwa kaum pribumi perlu diemansipasi dari keterbelakangan, yang dikenal dengan “politik asosiasi”. Namun, dengan munculnya pergerakan nasional, politik asosiasi mengalami kegagalan. [6]
Depok, 3 Agustus 2013


Islam Indonesia dan Dasar-dasar Politik Belanda Terhadap Islam

OPINI | 13 March 2012 | 05:50http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_baca.gif Dibaca: 466   http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/img_komen.gif Komentar: 0   http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_nilai.gif 0
Politik Islam Pemerintahan Hindia Belanda yang dimaksudkan di sini adalah kebijaksanaan pemerintahan Hindia Belanda dalam mengelola masalah-masalah Islam di Indonesia pada masa kolonial. Kedatangan Islam di Nusantara membuat pengaruh besar terhadap kehidupan sosial. Politik dan Ekonomi. Peduduk lokal yang awalnya menganut agama Hindu Budha berbondong-bondong menganut agama islam karena diajaran Islam tidak ada kasta-kasta yang memilah-milah kesempatan umatnya, karena semua dihadapan Allah itu sama kecuali ketakwaannya. Tidak hanya kaum pedagang dan golongan rendah saja yang menganut islam, namun kaum menengah atas bahkan para Aristokrat dan petinggi kerajaan ikut memeluk islam,  dengan tujuan untuk membendung pengaruh barat yang juga membawa ajaran agama kristen serta menjegah bangsa-bangsa barat untuk memonopoli perdagangan di Nusantara yang sebelumnya banyak pedagang dari Arab.Sejak didirikannya VOC bangsa Belanda selalu ingin ikut campur dalam urusan Kerajaan. Mereka ingin memonopoli perdagangan di Indonesia dengan memanfaatkan situasi intern suatu kerajaan.
Islam bukan saja sebuah agama namun beda tipis dengan sebuah politik. Menganut Islam berarti memerangi penguasa-penguasi kristen dan bangsa asing. Namun terkadang kekuasaan membuat seseorang lupa diri, meskipun banyak kaum ningrat memeluk islam, tpi mereka tetep bekerja sama dengan belanda untuk menindas para petani. Para kaum ini sangat berhati-hati dalm menyembintukan identitas keagamaanya. mereka juga disebut sebagai islam sekuler.
Pada sekitar abad 19, orang-orang belanda mengirimkan misionarisnya untuk berdakwah di Indonesia. Misionaris-misionaris ini dibatu dana dari negara belanda. Meskipun dapat dukungan penuh dari pemerintahan namun agama ini hanya berkembang sejara pelan-pelan dan wilayahnya hanya di Daerah-daerah yang belum terjamah oleh agama islam. Bagi Belanda Islam adalah ancaman, karena itu Belanda melarang Haji pada umat islam. Namun mengakibatkan banyak sekali pemberontakan-pemberontakan dikalangan umat islam.
Kemudia Belanda mengirim Sosok Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) ahli bahasa Arsb dan Islam. Bagi Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia sarjana yang berhasil. Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding. Namun, penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik.
Kalangan liberal memuji setinggi langit kaum orientalis tanpa kritik. Kaum Muslim seolah diminta belajar Islam dari orang yang tak mengimani Islam. [bagian pertama]
Hidayatullah.com–Sekitar tahun 70-an, ?almarhum Prof. HM Rasjidi pernah menunjukkan kuatnya pengaruh metode orientalis terhadap buku wajib dalam studi Islam di Indonesia. Yang dimaksudkan adalah buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya“, karya Prof. Harun Nasution.
30 tahun setelah benih orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution, ?cengkeraman’ orientalis dalam studi Islam sudah semakin merambah ke berbagai bidang studi-studi lain, baik dalam studi agama-agama maupun dalam studi Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya ?proyek-proyek pesanan’ negara-negara dan LSM Barat dalam studi dan pemikiran Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan mata kuliah hermeneutika di IAIN atau UIN, hari ini, adalah salah satu bagian kecil dari imbas orientalis yang tidak bisa dianggap hal yang enteng.
Dalam sebuah kolom,? berjudul, “Mempertimbangkan Ulang Orientalisme“, yang dimuat di situs http://islamlib.com,? aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Novriantono,memuji ?selangit’ kiprah para orientalis.
Katanya, “Jaringan Islam Liberal menggelar diskusi tentang Islam dan Orientalisme. Diskusi ini penting diadakan untuk meninjau, mengkritik, serta mengapresiasi kembali kajian-kajian orientalisme yang kaya itu, terutama dalam bidang doktrin dan peradaban Islam. Rasanya, sayang betul bila hasil kajian yang bersungguh-sungguh dan mendalam tentang Islam itu dibuang begitu saja, hanya karena kita sudah terjebak dalam pandangan yang pejoratif dan simplistik tentang orientalisme.
Terasa lebih sayang lagi bila kita mengabaikan kajian-kajian orang di luar kita hanya karena alasan-alasan ideologis dan psikologis, bukan karena alasan ilmiah. Penolakan ideologis atas orientalisme sampai kini sangat dipengaruhi oleh kritik-kritik intelektual semacam Anwar Abdul Malik (1963), Hisyam Jaid (1978), Edward Said (1978), dan Hassan Hanafi (1981) tentang keterkaitan orientalisme dengan proyek kolonialisme. Kritik semacam ini, kini sudah sepantasnya ditinjau ulang secara kritis.”
Banyak orang –bahkan kaum cendekiawan Muslim– tiba-tiba silau mata. Mereka mendadak percaya orang di luar Islam yang tidak mengakui akidah Islam, untuk melihat Islam, seolah-olah orientalis lebih baik dari orang Islam sendiri.
Siapa sesungguhnya mereka? Dan bagaimana kaum liberal sampai memuji-muji ?nyaris’ tanpa kritik sedikitpun. Hidayatullah.com, ?menurunkan profil orientalis yang pikirannya banyak diamini dan dijadikan bahan rujukan oleh kaum liberal. []
***
Theodor Noldeke (1836-1931)
Noldeke lahir 2 Maret 1836, di Hamburg, Jerman. Ia seorang pakar semitik Jerman yang ternama dan menyelesaikan studinya di Gottingen, Vienna, Leiden dan Berlin.? Pada tahun 1859 tulisannya tentang ?Sejarah Al-Quran’memenangkan penghargaan dari French Academie des Inscription.? Tahun 1860, ia menuliskannya kembali, dibantu? muridnya Schwally, dari bahasa Latin ke bahasa Jerman dengan judul ?Geschichte des Korans. Dan mempublikasikannya dengan beberapa tambahan di Gottingen.? Pada tahun 1861, ia mulai mengajar di Universitas Gottingen.? Tiga tahun kemudian ia meraih gelar profesor.? Pada 1872 ia aktif di Oriental Languages di Strassburg dan pensiun pada1906.
Tulisannya tentang ?Semitic Languages’ dan ?The History and Civilization of Islam’ juga mendapatkan penghargaan. Beberapa artikelnya pertama kali dipublikasikan oleh Encyclopaedia Britannica.
Artikelnya tentang Al-Quran dan sejenisnya dicetak lagi dalam sebuah bab yang diberinama ?Oriental Sketches’.? Beberapa karyanya adalah : Das Leben Mohammaeds (1863), Zur Grammatik des klassichen Arabisch(1896), Funf Mo’allaqat, iiberttzt und erklart (1899-1901), dll.
Noldeke bisa dikatakan dedengkot orientalis.? Selain ia menguasai sastra Yunani, ia juga mendalami tiga bahasa Semit, yaitu Arab, Suryani dan Ibrani.? Ayahnya banyak berperanan mengarahkan Noldeke untuk mempelajari berbagai bahasa itu. Noldeke belajar bahasa Suyani kepada H Elwald, bahasa Arami kepada Bertheau dan belajar bahasa Sansekerta kepada Benfay.
Ketika masih duduk sebagai mahasiswa, Noldeke sudah mulai belajar bahasa Turki dan Persia.? Ia meraih gelar sarjana mudanya pada usia 20 tahun dengan karya tulisnya berjudul ?Tarikh Al-Quran’. Pada usia itu ia mulai mengadakan penelitian ke luar Jerman.? Pertama, Noldeke pergi ke Wina dan menetap disana selama setahun (1856-1857), dengan tujuan untuk mempelajari dan meneliti manuskripmanuskrip yang tersimpan di perpustakaan Wina.? Disitu Noldeke juga memperdalam bahasa Persia dan Turki, dengan mempelajari syair-syair yang ditulis penyair besar Persia Sa’di dan Aththar.
Tahun berikutnya, 1857-1858, Noldeke pindah ke Leiden. Di sini Noldeke menjumpai manuskrip-manuskrip Arab yang amat banyak, sekaligus bertemu dengan orientalis-orientalis terkemuka.? Seperti, Dozy, Juynboll, Mattys de Vries dan Kuenen.? Pada saat yang sama, Noldeke juga berkenalan dengan tokoh-tokoh orientalis muda Belanda yang terkenal, seperti de Goeje, de Jong dan Engelmann.
Setelah menetap di Leiden, Noldeke pergi menuju ke Goeta, Jerman untuk meneliti manuskrip-manuskrip di sana selama satu bulan.? Kemudian ia ke Berlin untuk tujuan yang sama dengan dibantu orientalis Jerman, R Gosche, orang yang pertama kali menyusun indeks tulisan-tulisan Al Ghazali. Ia turut membantu mewujudkan proyek penyusunan indeks manuskrip-manuskrip Turki yang mencapai 200-300 manuskrip.? Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Roma.? Meski Noldeke telah mengelilingi Eropa, tapi ia sekalipun tidak pernah mengunjungi negeri-negeri Arab dan Islam.
Noldeke sebenarnya mengembangkan pemikiran Abraham Geiger yang mengatakan bahwa Al-Quran terpengaruh agama Yahudi.? Pertama, dalam hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin dan kedua, peraturan-peraturan hukum dan moral dan ketiga tentang pandangan terhaap kehidupan.? Pada tahun 1833 Geiger menulis karya dalam bahasa Jerman (dialihkan dalam bahasa Inggris) berjudul “What Did Muhammad Borrow from Judaism?”
Tulisan Noldeke tentang Sejarah Al-Quran terus direvisi oleh muridnya Friedrich Schwally dan karyanya diterbitkan dengan judul : The Origin of the Qur’an. (1909).? Pada tahun 1919 ia menyelesaikan edisi keduanya dengan judul The Collection of The Qur’an. Ia juga merintis penyusunan, penyusunan buku The History of the Text.? Setelah Schwally meninggal, usahanya itu dilanjutkan oleh Bergstassser dan terakhir disempurnakan oleh Otto Pretzl pada tahun 1938.? Jadi buku tentang ?Sejarah Al-Quran’ itu ditulis oleh ramai-ramai orientalis Jerman selama 68 tahun.? Hasilnya karya itu kini menjadi karya standar dalam masalah sejarah kritis penyusunan Al-Quran bagi para orientalis (Lihat Adnin Armas, 2003, hal. 62-64).
Taufik Adnan Amal, Dosen Ulumul Qur’an dan aktivis Islam Liberal, juga menjadikan karya orientalis menjadi rujukan utamanya dalam menulis buku “Rekonstruksi Sejarah Al-Quran.”
Joseph Schacht (1902-1969)
Ia lahir di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902.? Ia mulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Prusia dan Leipzig. ?Tahun 1923, ia memperoleh gelar sarjana muda di Universitas Prusia dan menjadi guu besar pada 1929.? Schacht menjadi dosen di Universitas Frayburg, Jerman.? Pada tahun 1934 ia diundang untuk mengajar di Universitas Kairo, Mesir.? Disitu ia
mengajar fikih, bahasa Arab dan bahasa Suryani, di? jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas Mesir hingga 1939.? Ketika terjadi Perang Dunia II pada September 1939, Schacht pindah dari Mesir ke London dan bekerja di Radio BBC, London.? Di situ ia berperanan melancarkan propaganda melawan nazi Jerman.
Di Inggris itu Schacht melanjutkan studinya di Universitas Oxford dan memperoleh gelar Magister pada tahun 1948, serta gelar Doktor pada tahun 1952.? Ia diangkat sebagau guru besar di seluruh universitas yang ada di kerajaan Inggris. Pada tahun 1954, ia pakar fikih Islam ini, menjadi guru besar di Universitas Leiden sampai 1959.? Ia dengan kawan-kawannya mengedit cetakan kedua Dairat al Ma’arif al Islamiyah.? Kemudian ia ke New York dan menjadi guru besar di Universitas Columbia dan meninggal di Amerika pada Agustus 1969.
Dalam bidang Fikih, karya Schacht antara lain: Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih(1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence 
(Oxford, 1950).? Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii.
Guru Besar Hadits dan Ilmu Hadits Universitas King Saud, Prof Dr MM Azami menulis dua buku tentang pemutarbalikan sanad hadits oleh Schacht. Azami, dengan bukti-bukti yang otentik -karyanya dipuji orientalis Prof. AJ Arberry dari Universitas Cambridge Inggris-menulis kritik Sacht dalam bukunya ?Studies in Early Hadith Literature’ (terj. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya). Dalam buku itu Azami menjelaskan bahwa teori Schacht tentang ?Sejarah Pemalsuan Hadits’, banyak ditemui kesalahan dan pemutarbalikan fakta.
Misalnya ketika Schacht meragukan suatu sanad: “Amr bin Amr adalah rawi yang menjadi titik temu bersama untuk sanad-sanad ini.? Dan sulit rasanya -dilihat dari tempatnya-Amr mondar-mandir untuk bertemu dengan tuannya (al Muttalib) dan orang-orang yang tidak dikenal sehingga sanadnya dapat disebut langsung.”
Terhadap contoh sanad ini ia menyebutnya sebagai gejala umum dalam hadits-hadits Nabi saw.? Setelah melakukan kajian yang mendalam Prof. Azami menemukan bahwa? seorang yang tidak dikenal (seorang dari suku Bani Salamah) itu sebenarnya adalah al Muttalib sendiri.? Ia kemudian meluruskan diagram sanad yang dibuat salah oleh Schacht (Azami, hal.557-561).
Schacht juga melakukan tuduhan kepada Hadits : “Sanad-sanad hadits itu sebagian besar adalah palsu…dan hal ini diketahui oleh semua orangbahwa sanad-sanad itu pemakaiannya dimulaidalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian berkembang dan mencapai bentuknyayang sempurna pada paruh kedua abad ketiga hijri,… Kebanyakan sanad-sanad itu tidak mendapatkan perhatian yang cukup.? Apabila ada suatu kelompok yang ingin menisbatkan pendapatnya dengan orang-orang dahulu, maka kelompok tersebut akan memilih tokoh-tokoh orang dahulu itu dan menaruhnya dalam sanad.”
Terhadap pendapat Schact itu, Prof. Azami menyatakan: “Penggunaan sanad sudah dimulai pada masa Nabi saw, hanya saja metode ahli-ahli hadits dalam menggunakan sanad itu tidak sama, khususnya pada masa Sahabat. Dan dapat kita katakan bahwa perhatian terhadap pentingnya sanad itu? mencapai puncaknya pada akhir abad pertama.? Dalam bab lalu, kita juga sudah mengetahui jumlah rawi-rawi hadits dan tempat tinggal mereka yang saling berjauhan.? Apalagi apabila hal itu ditambah dengan perbedaan umur serta tradisi mereka.
Oleh karena teori Schacht yang disebut dengan ?Projecting Back’ (Proyeksi ke Belakang) itu sulit dibayangkan, bahkan prakteknya juga mustahil.”
Kamaruddin Amin, kandidat doktor Bonn University, Germany yang juga aktivis Islam Liberal (JIL), dalam sebuah tulisan berjudul, “Diskursus Hadis di Jerman”, membela Joseph Schacht terhadap studi hadits di Barat.? “Tentu naif menolak satu tradisi intelektual secara a-priori tanpa mengetahui esensi tradisi tersebut. Tantangan buat kita semua.”
Ignaz Goldziher (1850-1921)
Goldziher adalah termasuk orientalis terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu Islam.? Ia lahir pada 22 Juni 1850, di Hongaria.? Ia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang.?? Pendidikannya dimulai dari Budhapest kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 dan pindah lagi ke Universitas Leipzig.
Goldziher dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka saat itu yaitu Fleisser, pakar filologi (ilmu tentang asal-usul kata). Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama pada tahun 1870 dengan karyanya : “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah.”
Ia kemudian kembali ke Budapest dan ditunjuk sebagai asisten Guru Besar di Univeritas Budhapest pada tahun 1872.? Ia tidak lama mengajar, dan lalu meneruskan studinya di Wina dan Leiden.? Setelah itu ia mengadakan perjalanan ke Timur Tengah, Suriah dan Palestina dan kemudian menetap di Kairo.
Ketika di Universitas Budapoest, ia banyak menekankan kajian peradaban Arab, khususnya agama Islam. Pada tahun? 1894, ia diangkap menjadi profesor kajian bahasa Semit.? Goldziher memang snagat cerdas.? Pada usia 16 tahun, ia telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah Turki ke dalam bahasa Hongaria. Saat itu ia juga biasa membaca buku-buku tebal dan memberikan ulasannya.? Buku klasik pertama yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum.? Ia kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih.? Tahun 1889 menulis karangan tentang hadits berjudul Dirasah Islamiyah, dua juz. Dalam bukunya ?Al Aqidah was Syariah fil Islam’ Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad saw.? Prof. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini.? Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad.. hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya.
Dalam buku itu, Goldziher juga menyatakan: “Sesungguhnya Muhammad telah memilihkan ajaran-ajaran Islam dari agama-agama yang menonjol pada masanya, yaitu agama Yahudi, Nasrani, Majusi dan agama berhala, setelah ia melakukan penyaringan…Islam tidak mampu mempersatukan bangsa Arab dan menghimpun kabilah-kabilah yang bermacam-macam kepada tata peribadatan yang satu.”? (Prof Ahmad M Jamal, hal. 250).
Menurut Prof. Jamal, tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh Goldziher itu bukan barang yang aneh. Dulu, ketika turun Al-Quran, orang-orang Musyrik juga menyatakan Muhammad seorang yang gila, tukang sihir, mendongeng palsu dan lain-lain.? Al-Quran bahkan turun meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan Yahudi dan Nashrani. [nuim hidayat, dari berbagai sumber/www.hidayatullah.com]… berlanjut

POLITIK ISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA

POLITIK ISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA
( H. Aqib Sumanto )

Pada masa klonial belanda, di Indonesia Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagia besar penduduk yag dijajahnya di kepulauan nusantara ini adalah beragama islam. Timbulya aneka perlawanan seperti perang paderi (1821-1827), perang Dipenogoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903) dan lain-lainnya, betapapun tidak terlepas dari kaita agama ini. Namun karena kurangnya pengetahuan yang tepat tentang islam, mula-mula belanda tidak berani mencampuri agama ini secara langsung. Sikap belanda dalam masalah ini dibentuk oleh kombinasi konttradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan. Di satu pihak belanda sangat khawatir dengan akan timbulnya pemberontakan orang-orang islam yang fanatic. Sementara di pihak lain belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua persoalan.
Kebijaksanaan belanda yang tudak mencampuri urusan agama tersebut ternyata tidak konsisten, terbukti pemerintah colonial sering mencurigai para haji yang dianggap fanatic da suka memberontak. Pda tahun 1859, Gubernur jenderal dibenarkan mencampuri masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak-grik para ulama, bila dipandang perlu demi kepentingan ketertiban keamanan. Disini terlihat bahwa kebijaksanaan tidak mencampuri agama hanya bersifat sementara, karena belum dikuasainya masalah islam islam sepenuhnya.
Setelah kedatangan snouck Hurgronje pada tahu 1889, maka ketakutan yang menyelimuti pemerintah colonial tentang islam itu hilang. Snouck hurgronje menjelaskan tentang pengetahuannya terhadap islam. Dia menegaskan bahwa dalam islam tidak dikenal lapisan kependetaan semacam dalam Kristen. Kyai tidak apriori fanatic, penghulu merupakan bawahan pemerintah pribumi, ulama independent bukanlah komplotan jahat, pergi haji ke mekkah pun bukan berarti fanatic berjiwa pemberontak, sebab mereka hanya menginginkan ibadah. Baru setelah itu pemerintah belanda mempunyai kebijakan yang jelas mengenai islam.
Dengan politik islamnya, maka snouck hurgrinje menemukan seni memahami da meguasai penduduk yang sebagian besar muslim. Dialah Arsitek keberhasilan politik islam yang paling legendaries yang telah melengkapi pengetahuan belanda tentang islam, terutama dalam bidang sosial dan politik, disamping berhasil meneliti mentalitas ketimuran dan islam.
Sekalipun snouck hurgronje menegaskan bahwa pada hakekatnya orang islam di Indonesia itu penuh damai, namun dia pun tidak buta terhadap kemampuan politik fanatisme islam. Bagi dia, musuh kolonialisme bukanlah islam sebagai agama, melainkan islam sebagi doktrin politik. Dalam kenyataannya memang islam di Indonesia berfungsi sebgai titik pusat identitas yang melambangkan oerlawanan terhadap pemerintah Kristen dan asing.
Menghadapi maslah sepperti itu, maka snouck hurgronje mebuat kebijakansanaan pemerintah colonial dalam mengani masalah islam di Indonesia yaitu yang disebut islam politiek. Kemudian dia membedakan islam dalam pengertian ibadah dan islam sebagai kekutan sosial politik. Dalam hal ini dia membagi maslah islam dalam 3 katergori, yaitu :
1. bidang agama murni atau ibadah. 
2. Bidang sosial kemasyarakatan.
3. bidang politik.
Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah kolonial memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada umat islam untuk beribadah dan melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak menggangu kekuasaan pemerintah belanda. Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah belanda memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan cara menggalakan rakyat agar mendekti belanda, bahkan membantu rakyat yang akan menempuh jalan tersebut. Tetapi dalam bidang ketatanegaraan, pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan pan islam.

SITUASI SOSIAL POLITIK KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA MASA PENJAJAHAN BELANDA

1.    I.          PENDAHULUAN
Islamisasi di Indonesia melalui berbagai jalur, baik dari jalur perdagangan maupun dari perkawinan. Dan masuknya Islam di Indonesia terjadi sebelum orang-orang Barat mencari rempah-rempah di Indonesia sekitar abad ke-13 M, dimana masyarakat muslim sudah berada di Samudra Pasai, Perlak dan Palembang di Sumatra. Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam itu, perkembangan Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 fase, dari singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, adanya komunitas Islam dari beberapa daerah kepulauan Indonesia, sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
Sebelum datangnya bangsa-bangsa Barat kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia berbeda, ada yang mengalami perluasan daerah kekuasaan seperti Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 sampai ke-10 M., dan ada pula yang kekuasaannya mengalami kegoncangan, seperti Kerajaaan Majapahit. Situasi itu dapat berlangsung lama sampai abad ke-15. Di samping itu juga setelah datangnya Belanda ke Indonesia sekitar abad ke-15, situasi dan kondisi kerajaan-kerajaannya juga berbeda, bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik tetapi juga proses Islamisasi.
1.    II.          RUMUSAN MASALAH
2.    Bagaimana Situasi dan Kondisi Kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda Datang?
3.    Bagaimana Latar Belakang Kedatangan VOC, Hindia-Belanda?
4.    Bagaimana Penetrasi Politik dan Politik Islam Hindia-Belanda?
5.    Bagaimanakah Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Belanda?
1.    III.          PEMBAHASAN
2.    1.    Situasi dan Kondisi Kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda Datang
Menjelang kedatangan Belanda di Indonesia pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 keadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia tidaklah sama. Perbedaan keadaan tersebut bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga dalam proses pengembangan Islam di kerajaan-kerajaan tersebut. Misalnya di Sumatra, penduduk sudah memeluk Islam sekitar tiga abad, sementara di Maluku dan Sulawesi penyebaran agama Islam baru saja berlangsung.
Di Sumatera, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, percaturan politik di kawasan Selat Malaka merupakan perjuangan segitiga: Aceh, Portugis, dan Johor yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Malaka Islam.[1]
Pada abad ke-16, tampaknya Aceh menjadi lebih dominan, terutama karena para pedang Muslim menghindar dari Malaka dan memilih Aceh sebagai pelabuhan transit. Aceh berusaha menarik perdagangan internasional dan antar kepulauan nusantara. Bahkan, ia mencoba menguasai pelabuhan-pelabuhan pengekspor lada, yang ketika itu sedang banyak permintaan. Kemenangan Aceh atas Johor, membuat kerajaan terakhir ini pada tahun 1564 M menjadi daerah vasal dari Aceh.[2]
Kemajuan Aceh dilanjutkan oleh menantu Iskandar Muda, Iskandar Tsani (Iskandar II). Menantunya yang liberal ini dapat mengembangkan Aceh dalam beberapa tahun kedepan. Dengan lembut dan adil, Iskandar Tsani mendorong perkembangan agama dan melarang pengadilan dengan penyiksaan fisik. Pada masa ini, pengetahuan keagamaan juga maju pesat. Namun, kematian Iskandar Tsani yang dini, diikuti oleh masa-masa bencana tatkala beberapa sultan perempuan menduduki singgahsana pada 1641-1699 M, menjadikan Aceh lemah. Banyak wilayah taklukannya yang lemah dan kesultanan pun terpecah-pecah.[3]
Dan kemudian kondisi negeri juga mulai mengalami penurunan disebabkan oleh banyaknya peperangan dan krisis ekonomi. Karena peperangan yang terus-menerus melawan Barat, yang menyebabkan penderitaan yang sangat berat bagi Aceh. Akhirnya, negeri ini jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1322 H/ 1904 M.[4]
Di Jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah dari pesisir ke pedalaman, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram. Berpindahnya pusat pemerintahan itu membawa pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan sejarah Islam di Jawa, diantaranya: (1) kekuasaan dan sistem politik didasarkan atas basis agraris, (2) peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran mundur, demikian juga peranan pedagang dan pelayar Jawa, dan (3) terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala akibatnya.[5]
Di Sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan Makassar berkembang dengan pesat. Letaknya memang strategis. Faktor-faktor yang mempercepat perkembangan tersebut, pertama, pendudukan Malaka oleh Portugis mengakibatkan terjadinya migrasi pedagang Melayu, antara lain ke Makassar. Kedua, arus migrasi Melayu bertambah besar setelah Aceh mengadakan ekspedisi terus menerus ke Johor dan pelabuhan-pelabuhan ke Semenanjung Melayu. Ketiga, blokade Belanda terhadap Malaka dihindari oeh pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun India, Asia Barat dan Asia Timur. Keempat, merosotnya pelabuhan Jawa Timur mengakibatkan fungsinya diambil oleh pelabuhan Makassar.Kelima, usaha Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku membuat Makassar mempunyai kedudukan sentral bagi perdagangan antara Malaka dan Maluku. Itu semua membuat pasar berbagai macam barang berkembang disana.
Sementara itu, Maluku, Banda, Seram, dan Ambon sebagai pangkal atau ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin menguasainya dengan politik monopolinya. Ternate dan Tidore dapat terus dan berhasil mengelakkan dominasi total dari Portugis dan Spanyol, namun ia mendapat ancaman dari Belanda yang datang ke sana.[6]
1.    2.    Latar Belakang Kedatangan VOC, Hindia Belanda
Perkembangan dan pertumbuhan Islam di Indonesia menyebabkan berdirinya beberapa kerajaan Islam. Kemudian karena Indonesia kaya raya, maka datanglah bangsa-bangsa Barat, diantaranya Portugis di tahun 1512 M, kemudian disusul Spanyol pada tahun 1521 M, lalu Prancis pada tahun 1529 M, dan Belanda tahun 1596 M, baru Inggris datang kemudian.
Maksudnya semua hendak berniaga di samping mengembangkan kristen, sebagai alat menanamkan pengaruh dan kekuasaan, di samping itu juga untuk mengembangkan usaha perdagangan yaitu ingin mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa. Namun olehnya mereka melakukan tekanan dan paksaan, sehingga Indonesia menjadi jajahan bangsa barat (Belanda) tiga setengah abad lamanya.[7]
Karena melihat hasil yang diperoleh perseroan Amsterdam, yang mengirim armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun 1595 M terdiri dari empat kapal, di bawah pimpinan Cornelis De Houtman. Menyusul kemudian angkatan kedua tahun 1598 M di bawah pimpinan Van Nede, Van Heemskerck, dan Van Warjick. Selain dari Amsterdam, juga datang beberapa kapal dari berbagai kota di Belanda. Angkatan ketiga berangkat tahun 1599 M dibawah pimpinan Van Der Hagen dan angkatan keempat tahun 1600 M dibawah pimpinan Van Neck. Sehingga banyak perseroan lain berdiri yang juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia. Pada bulan Maret 1602 M, perseroan-perseroan ini bergabung dan disahkan oleh Staten-General Republik dengan satu piagam yang memberi hak khusus kepada perseroan gabungan tersebut untuk berdagang, berlayar dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan kepulauan Solomon, termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).[8]
Melihat isi piagam tersebut, jelas bahwa VOC, disamping berdagang dan berlayar, juga diberi hak untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam rangka menunjang uasaha perdagangannya. Boleh jadi, hak politik itu diberikan karena hal yang sama juga berlaku bagi negara-negara Eropa lainnya, seperti Portugis yang datang ke kepulauan Indonesia hampir seabad sebelum Belanda. Sebelum itu, Belanda sudah berhasil mendirikan faktotai di Aceh (1601 M), Pathani (1601 M) dan Gresik (1602 M).
VOC yang berpusat di Amsterdam itu merumuskan langkah-langkah sebagai berikut:
1)      Kompeni Belanda itu boleh membuat/mengadakan perjanjian dengan raja-raja di Hindia Timur atas nama kerajaan Belanda.
2)      Kompeni Belanda boleh membangun kota, benteng dan kubu-kubu pertahanan di tempat-tempat yang dipandang perlu.
3)      Kompeni Belanda boleh mengadakan serdadu sendiri, gubernur dan pegawai-pegawai sendiri, sehingga menjadi serupa pemerintah. [9]
Dalam pelayaran pertama, VOC sudah mencapai Banten dan Selat Bali. Pada pelayaran kedua, mereka sampai ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Dalam angkatan ketiga, mereka sudah terlibat perang melawan Portugis di Ambon, tetapi gagal, yang memaksa mereka mendirikan benteng tersendiri. Mereka kali ini sudah berhasil membuat kontrak dengan pribumi mengenai jual beli rempah-rempah. Dalam angkatan keempat, mereka berhasil membuka perdagangan dengan Banten dan Ternate, tetapi mereka gagal merebut  benteng Portugis  di Tidore.
Pada tahun 1798 M, VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta golden. Sebelumnya pada tahun 1795 M izin operasinya dicabut. Kemunduran, kebangkrutan, dan dibubarkannya VOC disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, hutang besar, dan sistem monopoli serta sistem paksa dalam pengumpulan bahan-bahan/ hasil tanaman penduduk menimbulkan kemeresotan moril baik para penguasa maupun penduduk yang sangat menderita.
Dengan bubarnya VOC, pada pergantian abad ke-18 secara resmi Indonesia pindah ke tangan pemerintah Belanda. Pemerintahan Belanda ini berlangsung sampai tahun 1942 M dan hanya diinterupsi pemerintahan Inggris selama beberapa tahun pada 1811-1816 M. Sampai pada tahun 1811 M, pemerintahan Hindia Belanda tidak mengadakan perubahan yang berarti. Bahkan pada tahun 1816 M, Belanda malah memanfaatkan daerah jajahan untuk memberi keuntungan sebanyak-banyaknya kepada negeri induk, guna menanggulangi masalah ekonomi Belanda yang sedang mengalami kebangkrutan akibat perang. Pada tahun 1830 M, pemerintahan Hindia Belanda menjalankan sistem tanam paksa. Setelah terusan Suez dibuka dan industri di negeri Belanda sudah berkembang pemerintah menerapkan politik liberal di Indonesia.[10]
1.    3.    Penetrasi Politik Belanda dan Politik Islam Hindia-Belanda
a)      Penetrasi Politik Belanda
Penetrasi Belanda dalam dunia politik seringkali  justru diundang oleh konflik-konflik internal suatu kerajaan atau konflik antar kerajaan di Indonesia. Yaitu di Sulawesi terdapat konflik dalam negeri antara Gowa-Tallo dengan Bone.  Sehingga VOC mampu memonopoli di Makasar maupun di Indonesia bagian timur. Selanjutnya penetrasi politik Belanda terjadi di Banjarmasin. Pada mulanya Belanda datang pada abad ke-17, dengan susah payah mendapat izin untuk berdagang disitu, namun diusir  beberapa kali. Akhirnya Belanda mendapat izin dari Sultan Tahlilillah. Perebutan kekuasaan oleh Pangeran Amir dan Pangeran Nata, yang mana dimenangkan Pangeran Nata dengan bantuan Belanda, membuat kekuasaan Belanda semakin besar dan kokoh. Dan akhirnya secara de facto, Belanda sudah menjadi penguasa politik di Banjarmasin.
Di samping itu juga Indonesia terjadi konflik intern, sehingga seperti bola dalam keranjang yang mudah dipermainkan oleh penjajah. Dan itu terjadi karena politik pecah belah penjajah itu. Ini semua mempengaruhi ajaran agama Islam menjadi mundur, kerajaan-kerajaan Islam dari hari ke hari menjadi kecil dan lemah.[11]
Penetrasi VOC ke Minangkabau dijalankan dengan menggunakan berbagai strategi sejak tahun 1663 M. Panglima Aceh yang berkedudukan di Minangkabau dan raja Minangkabau diberi kredit dalam transaksinya. VOC menuntut jabatan wali negara ditempatkan di sana dan secara de facto berarti kekuasaan ada di tangan VOC. Setelah itu, dengan cepat mengadakan kontrak dengan daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Minangkabau. Akibatnya, hubungan baik antara Minangkabau dan Aceh terputus.[12]
b)      Politik Islam Hindia-Belanda
Di Indonesia, Belanda menghadapi kenyataan bahwa mayoritas penduduk yang dijajahnya adalah beragama Islam. Sebelum kedatangan Snouck  Hurgronje, politik pemerintahan Belanda terhadap Islam didasarkan pada perasaan takut dan sikap tidak mau mencampuri. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka secara tepat mengenai agama Islam. Pada umumnya, mereka takut kepada ungkapan-ungkapan apa yang disebut dengan fanatisme Islam sehingga mereka berusaha menekan dan mencegah dengan cara menjauhkan diri dari urusan-urusan mengenai Islam.
Kedatangan Snouck Hurgronje, seorang yang sangat ahli tentang Islam. Snouck sendiri membuat sebuah teori yang disebut dengan “Islam politiek” dengan dalih “asosiasi”. Snouck H bukan saja bertindak sebagai seorang ilmuwan, tetapi juga selaku ilmuwan yang mengabdikan ilmunya untuk kepentingan politik kolonialisme Belanda di Indonesia. Salah satu pengabdiannya yang terpenting adalah membebaskan orang Indonesia dari Islam.[13]
Asosiasi lebih memperlihatkan corak kolonial. Ia mengandung maksud bagaimana mengikat negeri jajahan dengan negeri penjajah. Dalam hubungan ini kebudayaan dianggap sebagai sarana yang sangat efektif, manfaat kebudayaan negeri penjajah akan terbuka untuk dipergunakan oleh negeri yang dijajah tanpa mengabaikan kebudayaan negeri yang dijajah ini.[14]
Dengan politik itu Snouck membagi masalah Islam dalam tiga kategori, yaitu:
1)      Bidang Agama Murni atau Ibadah
Terhadap bidang agama murni pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
2)      Bidang sosial kemasyarakatan
Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku sehingga pada waktu itu dicetuskanlah teori untuk membatasi keberlakuan hukum Islam, yakni teori reseptie yang maksudnya hukum Islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adat kebiasaan. Oleh karena itu, terjadi kemandekan hukum Islam.
3)      Bidang politik
Pemerintah melarang orang Islam membahas hukum Islam baik dari al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan  atau ketatanegaraan.[15]
1.    4.    Perlawanan Rakyat terhadap Penjajahan Belanda
Penjajahan Belanda terhadap Bangsa Indonesia mendapat perlawanan sengit dari Rakyat dan Bangsa Indonesia pada umumnya. Mereka mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda karena Bangsa Indonesia merasa dijajah dan diperlakukan semena-mena oleh Belanda. Perlawanan tersebut tidak hanya bermotif politik kebangsaan, melainkan juga karena motif agama. Penjajah Belanda di samping ingin menguasai Indonesia, juga menyebarkan agama mereka, yaitu Kristenisasi terhadap penduduk pribumi. Akibatnya rakyat dan Bangsa Indonesia dihampir semua wilayah mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Di samping itu perlawanan-perlawanan rakyat terhadap penjajahan juga berlangsung terus-menerus di satu wilayah dan wilayah yang lainnya.[16] Perlawanan-perlawanan itu antara lain sebagai berikut:
1)      Perang Padri di Minangkabau
Perang melawan kolonialisme di daerah Minangkabau bermula dari pertentangan antara dua pihak dalam masyarakat, dan sering dinamakan gerakan Padri yang di mulai pada awal abad ke-19. Tujuannya adalah untuk memurnikan ajaran agama Islam, membasmi adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah Nabi.
Perkembangan yang kenudian tampak di Minangkabau adalah timbulnya kebiasaan-kebiasaan buruk yaitu menyabung ayam, berjudi dan minum-minuman keras. Kebiasaan ini makin meluas dan mempengaruhi kelompok pemudanya.
Menghadapi keadaan ini kaum Ulama/padri mulai mengadakan reaksi, sehingga gerakannya dikenal dengan gerakan Padri. Kaum Padri ini memperbaiki keadaan masyarakat dengan cara mengembalikan pada ajaran Islam yang murni, sejak itu timbul bibit-bibit pertentangan antara kaum Padri dan kaum Adat.[17]
Pusat kekuasaan Minangkabau adalah Pagaruyung, tetapi raja hanya berfungsi sebagai lambang. Kekuasaan sesungguhnya berada di tangan penghulu adat. Walaupun Islam sudah masuk sejak abad ke-16, tetapi prosessinkretisme berlangsung lama. Pemurnian Islam di mulai oleh Tuanku Koto Tuo dengan pendekatan damai tetapi, pendekatan itu tidak di terima oleh murid-muridnya yang lebih radikal, terutama Tuanku Nan Renceh, seorang yang amat berpengaruh dan memiliki banyak murid di daerah Luhak Agam.[18]
Pada akhir abad ke-18, seorang ulama’dari kampung Kuta Tuo yaitu Tuanku Koto Tuo mulai mengajarkan pembaharuan-pembaharuan. Beliau mengajarkan bahwa masyarakat sudah terlalu jauh menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Kemudian ditunjukkannya bagaimana seharusnya hidup sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Sementara itu, pada tahun 1803 telah kembali ke Makkah tiga orang haji, yakni Haji Miskin dan Pandai Sikat, Haji Sumanik, dan Delapan Kota, dan Haji Piabang dari Tanah Datar. Ketiga ulama’ ini menyaksikan secara langsung bagaimana kaum Wahabbi di Makkah meluruskan agama dan membasmi bid’ah, sehingga mereka ingin meluruskan pula agama di negerinya Minangkabau.
Di antara kedudukan kaum padri yang kuat adalah Bonjol. Di sini didirikan benteng yang cukup besar, di dalamnya terdapat sebuah masjid, 40 rumah dan 3 gubug kecil.
Ketika Datuk Bandoro meninggal karena terkena racun. Ia digantikan oleh Muhammad Syahab atau Pelo (Pendito) Syarif yang kenudian dengan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol yang lahir pada tahun 1774 adalah anak dari Tuanku Rajanuddin dari kampung  Padang Bubus, Tanjung Bungo, daerah lembah Alahan Panjang.
Perang saudara ini meluas terus dan kemudian mengalami perkembangan baru setelah kekuasaan asing mulai campur tangan. Kemudian kaum adat ini minta bantuan kepada Belanda.
Pada tanggal 10 februari 1821, Residen Do Puy beserta Tuanku Suruaso (pemerintah dari Belanda) dan 14 penghulu yang mewakili Minangkabau mengadakan perjanjian. Dengan dasar perjanjian ini maka beberapa daerah di Minangkabau diduduki Belanda. Langkah Belanda tidak semata-mata ditujukan untuk melawan kaum Padri akan tetapi lebih banyak ditujukan untuk menanamkan kekuasaannya. Pada tanggal 18 Februari 1821, Belanda menduduki Simawang dengan membawa dua meriam dan 100 orang tentara. Sejak itu dimulailah perang padri melawan Belanda. Peranan kaum adat sebagai musuh utama kaum padri digantikan oleh Belanda. Kaum padri menghadap Belanda yang mempunyai sistem persenjataan yang modern serta personel yang terlatih.
Peperangan ini dapat dibagi dalam tiga masa. Masa pertama berlangsung antara 1821-1825, ditandai dengan meluasnya perlawanan rakyat ke seluruh daerah Minangkabau. Masa kedua antara tahun 1825-1830, ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan gerakan kaum padri yang mulai melemah. Ketika itu pihak Belanda sedang memusatkan perhatiannya pada perang Diponegoro di Jawa. Masa ketigaantara tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-besaran. Kemudian diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin padri.
Kaum Padri mulai bergerak menyerang pos-pos Belanda dan melakukan pencegatan terhadap pasukan patroli mereka. Pos Belanda di Semarang menjadi sasaran penyerangan kaum Padri dalam bulan September 1821 M.[19]
Baru pada akhir tahun 1834 Belanda dapat memusatkan kekuatannya untuk menyerang Bonjol. Setelah jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai dikuasai oleh Belanda.  Pada akhir september 1834 pasukan Belanda menyiapkan pasukan besar untuk mulai menyerang Bonjol. Pada tanggal 11 Mei 1835 Benteng Padri di sebuah bukit dekat Bonjol juga telah diduduki pasukan Belanda.
Pada tanggal 10 Agustus 1837 Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia lagi untuk mengadakan perundingan perdamaian. Tetapi perundingan perdamaian itu gagal. Sehingga menyebabkan timbulnya lagi pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837.
Dalam pertempuran bulan Oktober 1837 pengepungan dilakukan oleh pasukan-pasukan Belanda di luar Benteng Bonjol. Tembak-menembak terjadi antara pasukan Belanda di luar benteng dan pasukan padri di dalam benteng. Akhirnya benteng Bonjol yang dipatahkan oleh kaum padri dengan sekuat tenaga dapat dimasuki oleh pasukan Belanda. Penyerahan Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya terjadi pada tanggal 25 Oktober 1837 dan merupakan pukulan berat bagi penawanan kaum padri pada umumnya. Kaum padri terpaksa meninggalkan Bonjol untuk meneruskan perang di hutan-hutan.
Tuanku Imam Bonjol kemudian di buang ke Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon pada tahun 1841 dipindahkan ke Menado, dan meninggal disana pada tanggal 6 Nopember 1864.[20]
2)      Perang Diponegoro
Perang melawan penjajahan di Jawa Tengah dan Timur yang berlangsung antara tahun 1825 sampai dengan 1830, disebut juga perang Diponegoro atau Perang Jawa, karena meletus di hampir seluruh daerah di Jawa. Perjuangan ini ditujukan pada kekuasaan asing, yaitu penguasa Hindia Belanda yang selalu ikut campur dalam urusan pemerintahan Yogyakarta. Yang menjadi pemimpin peperangan ini adalah Putra Sultan Hamengku Buwono III dari selirnya yang bernama Pangeran Diponegoro.
Makin meluasnya pengaruh Belanda dalam urusan tata pemerintahan Mataram, sebenarnya tidak terlepas dari faktor intern dalam negara Mataram sendiri, yaitu adanya gejala pertentangan antar  bangsawan. Kericuhan istana, perebutan tahta, perang antara bangsawan merupakan gejala kronis dalam sejarah negara Mataram sampai abad ke-18.
Sementara itu, gejala baru yang timbul sebagai akibat hubungan dengan kekuasaan itu, ialah makin meluasnya peredaran minuman keras baik dikalangan bangsawan maupun rakyat umum. Gejala umum ini oleh golongan agama dalam istana dianggap membahayakan kehidupan agama Islam. Golongan bangsawan yang taat menjalankan syariat agama, diantaranya termasuk Pangeran Diponegoro, menyaksikan gejala tersebut dengan kekhawatiran.
Kekecewaan terhadap pemerintah kerajaan, yang dalam bidang politik banyak banyak dipengaruhi oleh Belanda, adalah sebab utama mengapa Diponegoro lebih banyak tinggal di Tegalrejo dari pada di istana. Di tempat ini ia lebih memusatkan perhatian pada soal-soal agama, pengetahuan tentang adat, sejarah maupun hal-hal yang mengenai kerokhanian[21].
Pangeran Diponegoro menggariskan maksud dan tujuan perlawanan terhadap Belanda, para pejabat dan agen Belanda; pertama, untuk mencapai cita-cita luhur mendirikan masyarakat yang bersendikan agama Islam. Kedua, mengembalikan keluhuran adat jawa, yang bersih dari pengaruh barat. Tekat yang luhur itu memantapkan hati para pengikutnya untuk memulai peperangan besar melawan Belanda.
Pada tahun 1826, jalan perang menunjukkan pasang surut. Banyak korban berguguran di pihak Belanda. Tahun 1827, Belanda memperkuat diri dengan melakukan benteng stelsel untuk mempersempit gerak tentara Pangeran Diponegara. Belanda juga mengerahkan bantuan dari negeri Belanda sekitar 3000 orang.
Pada waktu merayakan idul fitri 28 maret 1830, Pangeran Diponegoro diundang ke rumah Residen untuk melanjutkan perundingan. Dalam perundingan tersebut Pangeran Diponegoro menuntut agar diberi kebebasan untuk mendirikan negara yang merdeka yang bersendikan Islam. Akhirnya Ia ditawan karena tetap mempertahankan tuntutannya, kemudian di buang ke Manado pada 3 mei 1830. Pada tahun 1834 Ia dipindahkan ke Ujung Pandang, Makassar. Di pengasingan terakhir inilah ia meninggal dunia pada tanggal 8 januari 1855 dalam usia kurang lebih 70 tahun. [22]Walaupun perang besar ini berakhir dengan kekalahan, tetapi peran politik ulama’ telah menjadi pelajaran politik umat islam indonesia. Penggalangan atas nama Islam telah memupuk cinta tanah air dan anti kolonial. Nilai “perang sabil” yang dicanangkan oleh para ulama’ selalu menjadi  landasan yang kuat dalam ketahanan umat untuk mengusir dan melawan kolonial.[23]
3)      Perang Banjarmasin
Perlawanan yang terjadi di Kalimantan Selatan, di wilayah Kerajaan Banjar berlangsung hampir setengah abad lamanya. Perang Banjar berlangsung antara tahun 1854-1864 M, berawal dari ketidaksenangan rakyat Banjar terhadap tindakan campur tangan pemerintah kolonial dalam urusan intern kerajaan. Ketidaksenangan itu memuncak saat pemerintah mengakui Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar. Sultan baru itu tidak disenangi rakyat.[24] Di kalangan  rakyat terpendam rasa tidak senang karena persoalan pajak. Selain pajak, rakyat juga dikenakan kerja-wajib untuk kepentingan golongan yang berkuasa. Ketidaksenangan itu juga disebabkan karena Pangeran Tamjidillah adalah anak Sultan Muda dengan Nyai Aminah. Ia amat dibenci baik oleh golongan kraton maupun rakyat. Kebiasaan mabuk menyebabkan ia dimusuhi oleh golongan agama.[25] Dan juga menimbulkan kekecewaan di kalangan rakyat dan para pembesar lainnya. Akibatnya timbul kericuhan di dalam wilayah Kerajaan Banjarmasin. Melihat kericuhan yang terjadi, Belanda kembali memasuki persoalan politik untuk mengambil keuntungan yang lebih besar. Colonel Andresen sengaja didatangkan dari Batavia (Jakarta) untuk meneliti persoalan dari dekat. Andresen berkesimpulan bahwa Pangeran Tamjid adalah sumber kericuhan tersebut. Ia kemudian diturunkan dari tahta dan kekuasaannya diambil alih oleh Belanda.[26]
Pengambilalihan kekuasaan itu mengalihkan penentangan rakyat yang semua diarahkan kepada sultan Tamjidillah, kini ditunjukan kepada pemerintahan kolonial Belanda. Ketika itulah perang Banjarmasin dianggap dimulai. Perlawanan rakyat terhadap Belanda berkobar di daerah-daerah yang di pimpin oleh Pangeran Antasari yang berhasil menghimpun pasukan sebanyak 3600 orangyang menyerbu pos-pos Belanda. Ia di dukung oleh pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Pangeran Hidayat sendiri berbelot kepada Pangeran Antasari untuk bersama-sama berperang melawan Belanda.
Dalam pertempuran tersebut banyak pasukan Belanda yang tewas. Gerakan cepat yang dilakukan Antasari sangat menyulitkan pasukan Belanda. Namun akhirnya beberapa pembesar kerajaan yang melawan Belanda satu demi satu dapat dikalahkan atau menyerah. Pangeran Hidayat sendiri tertangkap dan di buang ke Jawa.
Sebelas hari setelah pembuangan Pangeran Hidayat, pada tanggal 14 Maret 1862, Pangeran Antasari memproklamasikan suatu pemerintahan kerajaan Banjarmasin yang bebas dan merdeka, pengganti kerajaan Banjatmasin yang dirampas Belanda. Ketika itu diumumkan pengangkatan raja baru yaitu Pangeran Antasari sendiri, dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Ibu kota sementara di tetapkan di Teweh, yang ketika itu merupakan markas besar perjuangan melawan Belanda.
Akan tetapi, tujuh bulan setelah proklamasi Pangeran Antasari jatuh sakit dan pada tanggal 11 oktober 1862, ia wafat di Hulu Teweh. Kemudian ia di gantikan oleh anaknya, Pangeran Muhammad Seman. Perlawanan terus berlangsung sampai tahun 1905, ketika raja ini terbunuh sebagai syahid dalam medan pertempuran.[27]
4)      Perang Aceh
Perang Aceh berlangsung selama 31 tahun, antara tahun 1837-1904. Belanda memang membutuhkan waktu lama untuk memadamkan perang itu, mengingat perang ini melibatkan seluruh rakyat Aceh.
Diantara perlawanan-perlawanan besar yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia dalam abad ke-19, perlawanan di Aceh termasuk yang paling berat dan terlama bagi Belanda.
Pada tanggal 17 maret 1824, sebuah persetujuan antara Inggris dan Belanda mengenai pembagian wilayah jajahan di Indonesia dan Semenanjung Malaya di tandatangani. Isinya antara lain, bahwa setelah memperoleh kembali jajahan yang selama perang direbut oleh Inggris, Belanda tidak dibenarkan mengganggu kemerdekaan negara Aceh. Aceh tetap merdeka dan bebas menjalankan politik dalam berkembang. Tampaknya jaminan untuk mempertahankan kemerdekaan Aceh hanyalah bersifat politik saja.[28] Dorongan untuk menguasai Aceh semakin kuat sejak di bukanya Terusan Suez. Satelah Terusan Suez di buka pelabuhan Aceh menjadi sangat strategis karena berada dalam urat nadi pelayaran internasional. Sementara itu, imperialisme dan kapitalisme memuncak dan negara-negara barat berlomba-lomba mencari daerah jajahan baru  [29]
Pada tanggal 30 Maret 1857 ditandatanganilah kontrak antara Aceh dan Hindia Belanda. Dicantum di dalamnya kebebasan perdagangan dan larangan  perdagangan budak dan perampokan.
Pada tanggal 2 November 1871, Inggris dan Belanda bersepakat menandatangani Traktat Sumatra. Berdasarkan perjanjian tersebut pihak Belanda diberi kebebasan memperluas daerah kekuasaannya di Aceh. Sedang Inggris mendapat kebebasan berdagang di daerah Siak.
Traktat itu memberi keluasaan kepada Belanda untuk meneruskan agresinya. Diplomasi Aceh untuk melawannya, antara lain lewat hubungan dengan wakil Itali dan Amerika serikat, tidak berhasil. Setelah ultimatum tidak ditanggapi, pemakluman terhadap Aceh dinyatakan pada tanggal 26 Maret 1873.[30]
Itulah awal perang Aceh yang menurut waktu dan ruang tidak ada taranya dalam sejarah perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Perang ini disebut juga perang rakyat, karena seluruh rakyat Aceh terlibat secara aktif melawan kolonial. Pejuang aceh dipersenjatai oleh ideologi perang sabil sepanjang berlangsungnya perang yang jelas mempersulit belanda.
Pada tanggal 5 April 1873, tentara Belanda mendarat dengan kekuatan sekitar 3000 personil. Dalam serangan pertama itu, masjid diserang dan dapat diduduki  tentara Belanda, tetapi segera direbut kembali oleh pasukan Aceh. Karena kuatnya tentara Aceh, pasukan Belanda ditarik untuk menunggu bala bantuan di Batavia. Bulan November tahun itu juga, Belanda mengirikm ekspedisi kedua dengan kekuatan sekitar 13.000 prajurit. Kali ini dengan mudah Belanda menduduki masjid dan keraton,  karena sultan dan penghuninya sudah mengungsi. Jatuhnya keraton tidak melunturkan semangat juang rakyat Aceh.
Tidak lama setelah itu, pada 1874, Sultan meninggal dunia karena penyakit kolera dan para pengikutnya mengungsi lebih jauh lagi. Belanda berusaha mengadakan perundingan, tetapi tidak ditanggapi oleh pihak Aceh. Belanda kemudian memakai strategi menunggu dan menjalankan sistem pasifikasi. Dengan sistem ini, Belanda berusaha menguasai dan mengamankan lembah Sungai Aceh dan Aceh besar. Mereka mendirikan benteng-benteng sebagai pos untuk mengawasi daerah sekitarnya.
Pos-pos pengawasan itu terus-menerus mendapat serangan dari tentara Aceh yang mulai terorganisasi. Di samping itu, di sekitar pos-pos tersebut berjangkit penyakit kolera. Akhirnya hubungan antarpos tersebut dapat ditembus dan diputus oleh tentara Aceh pada tahun 1877. Setelah itu, belanda melakukan ofensif dengan mengirim ekspedisi ke Mukim XXII, tempat Panglima Polim memimpin perlawanan. Panglima Polim terpaksa mengungsi dan daerah- daerah sekitar Aceh Besar jatuh ketangan Belanda.
Gerakan pelawanan masih terus berlangsung, walaupun pengganti sultan belum ditunjuk dan keraton telah diduduki Belanda. Perlawanan masih perpusat di daerah sultan, karena putra mahkota, Muhammad Daud, tetap berperan sebagai  pusat dan pemimpin perang. Dia baru dinobatkan sebagai sultan pada tahun 1884.[31]
Dalam tahun itu juga Belanda mulai melaksanakan sistem konsentrasinya. Kotaraja sebagai pusatnya, dikelilingi benteng-benteng yang terletak dalam setengah lingkaran serta berjarak 5-6 km dari kota itu. Dibuat jalan untuk saling berhubungan, kemudian benteng-benteng itu dihubungkan dengan term. Di bagian luar benteng, hutan dan semak belukar ditebang, sehingga ada tanah lapang selebar 1 km sebagai pengamanan terhadap penyelundupan pasukan Aceh. Selama pembangunan benteng-benteng itu banyak korban yang jatuh karena serbuan dari pihak Aceh. Strategi berdasarkan sistem konsentrasi ternyata memberi peluang luas kepada pejuang Aceh untuk menggalakkan perang gerilya, maka serangan dapat dilancarkan sampai ke dalam kotanya dimana  terjadi banyak pembunuhan.[32]
Perang Aceh yang sangat menguras perbendaharaan keuangan Belanda ini menjadi dilematis. Biaya perang yang banyak dikeluarkan memaksa pemerintah melakukan penghematan pada tahun 1884-1885. Namun, kebijakan ini menjadikan wilayah-wilayah pedalaman kembali dalam kekuasaan pihak gerilyawan Aceh. Belanda akhirnya menemukan cara pemecahan di dalam kebijakannya. Pemecahan ini diajukan oleh Dr.C.snouck Hugronje (1857-1936) dan Johannes Benedictus Van Heutsz (1851-1921).[33]
Pada tahun 1890, Gubernur Deykerhoff berusaha mendekati kaum bangsawan atau ulebalang. Dengan demikian, perlawanan kembali bergolak diseluruh Aceh besar. Belanda kembali melakukan ofensif yang memaksa pihak Aceh bersikap defensif. Setelah itu, Belanda melakukan pengejaran terhadap rombongan Sultan. Bahkan, untuk memancing agar Sultan mau menyerahkan diri, Belanda melakukan penyanderaan terhadap istri-istri dan putra sultan. Akhirnya,Sultan menyerah pada 3 januari 1903. Taktik yang sama juga dilakukan terhadap Panglima Polim, yang terpaksa menyerah pada 6 September 1903.
Meskipun Sultan tertawan dan Panglima Polim menyerah, peperangan terus berlangsung, sampai Belanda meninggalkan indonesia tahun 1942. Antara 1903-1930-an, di daerah Pidie Aceh tengah dan tenggara, namun di Aceh Barat dan Aceh timur masih sering muncul perlawanan sengit yang sebagian besar dipimpin oleh para Ulama’. Bahkan, tahun 1942, kelompok-kelompok kecil pejuang Aceh masih melakukan perlawanan.[34]
1.    IV.            KESIMPULAN
2.    Sebelum datangnya bangsa-bangsa Barat kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia berbeda, baik kemajuan politik, atau pun proses islamisasi.
3.    Perkembangan dan pertumbuhan Islam di Indonesia menyebabkan berdirinya beberapa kerajaan Islam. Kemudian karena Indonesia kaya raya, maka datanglah bangsa-bangsa barat, termasuk Belanda.
4.    Penetrasi Belanda dalam dunia politik seringkali  justru diundang oleh konflik-konflik internal suatu kerajaan atau konflik antar kerajaan di Indonesia. Kedatangan Snouck Hurgronje -seorang yang sangat ahli tentang Islam- membuat sebuah teori yang di sebut dengan “Islam politik” dengan dalih “asosiasi”.
5.    Penjajahan Belanda terhadap Bangsa Indonesia mendapat perlawanan sengit dari Bangsa Indonesia pada umumnya. Mereka mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda karena merasa dijajah dan diperlakukan semena-mena. Perlawanan-perlawanan tersebut diantaranya: Perang Padri, Perang Diponegoro, Perang Banjar dan perang Aceh.
A.   V.            PENUTUP
Demikian makalah  ini kami buat, semoga dapat menambah ilmu dan wawasan bagi kita semua. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun tetap diharapkan sebagai acuan dalam pembuatan makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Al- Usairy, Ahmad,  2003, Sejarah Islam, cet. 1, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Amin, Samsul Munir, 2009, Sejarah Peradaban Islam, cet. 1, Jakarta: Amzah.
Huda, Nur, 2007, Islam Nusantara : Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Cet. 1, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Kartodirdjo, Sartono, 1987, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, jilid 1, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Noer, Deliar, 1985, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Cet. 3, Jakarta: LP3ES.
Notosusanto, Nugroho,  1984, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid 4, Jakarta: PN Balai Pustaka.
Susanto, Musyrifah , 2005, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syukur, Fatah, 2009, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Thohir, Ajid, 2004, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Cet. 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Yatim, Badri, 2008, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, cet. 1 (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 374-375
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 231
[3] Nur Huda, Islam Nusantara : Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, cet.1, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 67
[4] Ahmad Al- Usairy, Sejarah Islam, cet. 1, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), hlm. 449-450
[5] Badri Yatim, 2008, hlm. 232
[6] Badri Yatim, 2008, hlm. 233-234
[7] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 214
[8] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, jilid 1, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1987), hlm. 70-71
[9] Samsul Munir Amin, 2009, hlm. 378
[10] Badri Yatim, 2008, hlm. 235-236
[11] Fatah Syukur, 2009, hlm. 216-217
[12] Samsul Munir Amin, 2009, hlm. 384
[13] Nur Huda, 2007, hlm. 99-100
[14] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,cet.3 (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm.182
[15] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Cet. 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 298
[16] Samsul Munir Amin, 2009, hlm. 388-389
[17] Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid 4 (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hlm. 167-169
[18] Badri Yatim, 2008,hlm. 242
[19] Nugroho Notosusanto, 1984, hlm. 167-173
[20]Nugroho Notosusanto, 1984, hlm. 181-184
[21]Nugroho Notosusanto, 1984, hlm. 193
[22] Samsul Munir Amin, 2009, hlm. 393-395
[23] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 30
[24] Samsul Munir Amin, 2009, hlm. 400
[25] Nugroho Notosusanto, 1984, hlm. 220-222
[26] Badri yatim, 2008, hlm. 248
[27] Samsul Munir Amin, 2009, hlm. 401
[28] Nugroho Notosusanto, 1984, hlm. 241
[29] Samsul Munir Amin, 2009, hlm. 395
[30] Sartono Kartodirdjo, 1987,hlm. 385-386
[31] Badri Yatim, 2008, hlm. 250-251
[32] Sartono Kartodirdjo, 1987,hlm. 388
[33] Nur Huda, 2007, hlm. 95
[34] Badri Yatim, 2008,hlm. 251-252


Leave a Reply

 
Mahasiswa Tingkat Akhir © 2014 | Designed By Blogger Templates