PEMBAHASAN
A. Pengertian fatwa
Materi jawaban hukum syara’ yang disampaikan oleh mufti
kepada mustafti, maka itulah yang
disebut dengan “fatwa”.
Fatwa telah dijelaskan bahwa yang difatwakan itu atau materi fatwa itu
adalah hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad. Dalam hal ini mufti sama kedudukannya dengan hakim,
yaitu menyampaikan hukum kepada umat. Sedangkan qadhi menyampaikan hukum melalui keputusan hukum atau dalam proses
persidangan setelah perkaranya disampaikan oleh umat. Keduanya merupakan hasil
“ijtihad”.
Dalam hal ini timbul dua persoalan yang
diperbincangkan dikalangan ulama:
1. Jika hukum yang difatwakan oleh mufti adalah hasil ijtihad orang lain yang berbeda dengan hasil ijtihad imam mujtahid
yang di ikutinya: secara jelas tidak dibahas secara tersendiri dalam
kitab-kitab ushul fiqh. Namun Ibnu Subki menjelaskan tentang masalah seorang qadhi yang menetapkan hukum berbeda
dengan ijtihad imam yang diikutinya. Dalam hal ini hukum yang ditetapkannya
batal. Mufti dan qadhi adalah sama dalam hal menyampaikan ijtihad, hanya caranya
yang berbeda, yaitu: mufti melalui
lisan sedangkan qadhi melalui
putusan.
2. Jika ijtihad imam mujtahid atau mufti berubah,baik karena menemukan
dalil yang baru, atau memang keadaan yang sudah berubah, lalu bagaimana dengan
hasil ijtihad yang lama: apakah masi
berlaku atau tidak, apakah harus membutuhkan ijtihad yang baru.
Dalam persoalan ini maka hasil memberitahukan kepada
mustafti tentang adanya perubahan
itu, supaya ia segera berhenti beramal dengan hasil ijtihad yang lama.[1]
1. Perubahan waktu (zaman)
Yang dimaksud dengan
perubahan waktu adalah perubahan manusia seiring perubahan waktu. Seperti
hukuman orang yang minum khamar. Pada
masa Rasulullah hukuman ini diterapkan dengan ta’zir, ada yang memukul dengan tangan, sandal dan baju. Hal ini disebabkan
karena orang-orang dekat dengan waktu kebiasaan minum. Namun akhirnya hukum
cambuk berlaku. Tetapi Rasulullah tidak memberikan batasan tertentu. Kadang 40
kali, terkadang kurang, bahkan lebih. Pada masa Abu Bakar, Khalifah Abu Bakar
menetapkan hukuman cambuk sebanyak 40 kali. Sementara di masa Umar, Khalifah Umar Bin Khatab menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali. Mushtafa az-Zarqa mengatakan bahwa perubahan-perubahan hukuman ini dapat berasal dari
kerusakan akhlak, hilangnya sifat wara’
dan kelemahan hati. Para ulama menyebutnya dengan kerusakan masa (zaman).
Untuk kejahatan
perkosaan para ulama di Arab Saudi menetapkan hukuman mati terhadap kejahatan
tersebut. Sementara untuk perdagangan narkoba,
Yusuf al-Qaradhawi menjawab bahwa hukumannya sama dengan hukuman membegal, sebagaimana firman allah dalam surat (al-Maidah ayat 33)[2]
$yJ¯RÎ)
(#ätÂty_
tûïÏ%©!$#
tbqç/Í$ptä
©!$#
¼ã&s!qßuur
tböqyèó¡tur
Îû
ÇÚöF{$#
#·$|¡sù
br&
(#þqè=Gs)ã
÷rr&
(#þqç6¯=|Áã
÷rr&
yì©Üs)è?
óOÎgÏ÷r&
Nßgè=ã_ör&ur
ô`ÏiB
A#»n=Åz
÷rr&
(#öqxÿYã
ÆÏB
ÇÚöF{$#
4
Ï9ºs
óOßgs9
Ó÷Åz
Îû
$u÷R9$#
(
óOßgs9ur
Îû
ÍotÅzFy$#
ë>#xtã
íOÏàtã
ÇÌÌÈ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka
dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)...”
Karena perubahan waktu
(zaman) ini (perubahan akhlak manusia) para ahli fikih di Mesir, Suriah dan
beberapa Negara Arab mengeluarkan undang-undang wasiat wajib untuk cucu yatim
yang tidak mendapatkan warisan kakeknya, karena terhalang oleh paman-paman.
Wasiat ini wajib dibuat untuk melindungi cucu, karena sekarang ini banyak orang
yang hanya mementingkan dirinya sendiri sehingga paman-paman tidak lagi
memikirkan ponakannya. Wasiat ini wajib mengambil istidlal dari
Alquran,
”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Al-Baqarah)
2. Perubahan tempat
dapat menjadikan
perbedaan hukum. Orang yang bertempat tinggal di suhu dingin berbeda dengan
tempat bersuhu panas. Orang yang tinggal di Indonesia beda dengan di kutub
selatan yang hari-harinya diliputi salju. Dalam hal ini, hukum dapat saja
berbeda dari satu tempat dan tempat yang lain. Suatu ketika, Amr bin Ash pernah
junub lalu sholat dengan tayammum. Hal ini sampai kepada Rasulullah, dan Amr
menjawab bahwa malam tersebut sangat dingin.
Dalam hal ini Rasulullah SAW mengutip sebuah firman Allah dalam Q.S an-Nisa ayat: 29,
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
w
(#þqè=à2ù's?
Nä3s9ºuqøBr&
Mà6oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
HwÎ)
br&
cqä3s?
¸ot»pgÏB
`tã
<Ú#ts?
öNä3ZÏiB
4
wur
(#þqè=çFø)s?
öNä3|¡àÿRr&
4
¨bÎ)
©!$#
tb%x.
öNä3Î/
$VJÏmu
ÇËÒÈ
“dan jangalah kamu membunuh
dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu” (Q.S: An-nisaa':
29)
Yusuf al-Qaradhawi juga
menberikan sebuah contoh, bahwa hukum memelihara anjing bagi orang Eskimo
berbeda dengan orang-orang pada kondisi umum. Anjing bagi mereka adalah kebutuhan
primer dalam keseharian mereka disebabkan kondisi tempat yang mereka diami.
Dalam hal ini maka hukumnya butuh pengecualian dari larangan umum menggunakan
anjing.[3]
Tepat sekali apa yang
dilakukan umat muslim di Eropa dengan membentuk “al-Majlis al-Urubi li
al-Ifta’ wa al-buhuts” (Majelis Fatwa dan Riset Eropa). Organisasi ini
bertugas memperhatikan kondisi-kondisi penduduk di luar masyarat muslim,
khususnya di Eropa. Karena perubahan tempat menjadi titik tolak perubahan. Hal
ini pula yang menyebabkan Imam Syafi’I mengubah pendapatnya ketika tinggal di
Mesir
Lingkungan bisa
mempengaruhi pemikiran dan tingkah laku. Karenanya para ulama’ menjadikan
perubahan tempat sebagai salah satu faktor perubahan fatwa. Artinya, dalam satu masalah yang sama bisa berbeda fatwa
karena subyeknya berbeda tempat/lingkungan. Di antaranya :
a. Antara badui dan kota
Orang badui yang masuk
Islam diharuskan hijrah ke kota untuk mencari ilmu dan mengenal peradaban.
Fatwa hijrah ini tidak untuk orang kota. Sebagian ahli fiqih melarang kesaksian
badui atas orang kota karena ketidaktahuan mereka bisa berdampak negatif.
b. Negara bersuhu panas dan negara bersuhu dingin
Karena ini menentukan
perbedaan kebutuhan hidup dan tingkat emosi. Penduduk negeri bersuhu panas
biasanya lebih kasar dan cepat marah dibandingkan penduduk negeri bersuhu
dingin.[4]
3. Perubahan tempat oleh perubahan iklim
Hal ini berkaitan
dengan curah hujan yang bisa menghalangi keluar rumah dan terkait dengan banyak
ibadah seperti shalat jamaah, wudhu, tayamum, dan sebagainya.
4. Perubahan tempat bagi negeri Islam dan lainnya
Fatwa bisa berbeda
karena status negeri itu; apakah negeri perang (darul harb), negeri yang terikat perjanjian (darul ‘ahd), atau negeri kafir
(dar kufr). Orang Islam yang
tinggal di negeri lain, tuntutan ilmu syar’i-nya
lebih ringan dari kaum muslimin di negeri Islam karena hambatan yang ada tidak
memungkinkannya mempelajari itu semua.
5.
Perubahan Kondisi sosial
Kondisi sempit tidak
sama dengan kondisi lapang, kondisi sakit tidak sama dengan kondisi sehat,
kondisi bepergian tidak sama dengan kondisi mukim, kondisi perang tidak sama
dengan kondisi damai, kondisi takut tidak sama dengan kondisi aman, kondisi
kuat tidak sama dengan kondisi lemah, kondisi tua tidak sama dengan kondisi
muda, kondisi buta huruf tidak sama dengan kondisi bisa baca-tulis. Mufti yang bijak memperhatikan
kondisi-kondisi seperti ini.
Karenanya fatwa izin perang Rasulullah SAW berbeda antara sebelum
dan sesudah hijrah. Demikian pula fatwa
Ibnu Abbas tentang taubatnya orang yang membunuh. Sebelumnya ia mengatakan
taubatnya bisa diterima. Tetapi hari itu saat ada orang bertanya ia menjawab
tidak diterima taubatnya. Ketika murid-muridnya bertanya ia menjelaskan:
“Karena orang tadi hendak membunuh orang muslim.” Jika saja ia diberi fatwa
taubatnya bisa diterima ia tentu akan melaksanakan niat di balik kemarahannya
itu.
Perubahan kondisi sosial menyebabkan perubahan
hukum. Kondisi sempit tidak sama dengan kondisi lapang, kondisi sakit tidak
sama dengan sehat, kondisi perang tidak sama dengan aman, kondisi kuat tidak
sama dengan lemah. Nabi sendiri pernah mengeluarkan putusan hukum yang berbeda
antara satu orang dengan yang lain. Kondisi minoritas muslim di masyarakat
non-Islam tentu beda dengan kondisi masyarakat mayoritas muslim. Dalam hal ini,
kondisi minoritas muslim membutuhkan kemudahan (taisir) dan keringanan (takhfif)
sehingga mereka bisa hidup dengan agamanya sendiri di tengah komunitas non-muslim.
Ini sangat jelas
sekali, misalnya dalam Negara mayoritas muslim, non-muslim tidak perlu lagi
disebut ahl dzimmah, statusnya sama sebagai warga Negara dan tidak
ada lagi kata jizyah. Hal ini pula yang pernah dilakukan oleh Umar
bin Khattab.
Berfatwa atau
menyampaikan fatwa menduduki fungsi amar ma’ruf nahi mungkar, karena mereka
menyampaikan urusan-urusan agama yang harus kerjakan atau dijauhi oleh umat. Oleh
karena itu, hukum berfatwa itu menurut hukum asalnya adalah fardu khifayah.
Bila dalam satu wilayah hanyah ada satu mufti yang ditanya tentang satu masalah
hukum yang sudah terjadi d n akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa,
maka hukum berfatwa atas mufti tersebut adalah fardu ain. Namun jika ada mujtahid lain yang kualitasnya
sama atau lebih baik (menurut pandangan ulama yang mengharuskan mencari yang
lebih afdhal) atau masalah yang ditanya kepadanya bukanlah yang mendesak untuk
segera harus dipecahkan, maka hukum berfatwa bagi mufti tersebut adalah fardu
kifayah.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir, ushul fiqh, jilid II, (jakarta:
kencana, 2009)
http://m.dakwatuna.com/2010/11/12/9937/faktor-faktor-pengubah-fatwa/ pukul 20:30, tgl 11
http://misterrakib.blogspot.com/2013/06/perubahan-hukum-karena-perubahan
zaman.html pukul 20:35,
tgl 11